09 Agustus 2018

Restorasi Kawasan Gambut Dalam Hitungan Ekonomis




1. Kawasan Gambut Riau


Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah luasan lahan gambut terbanyak  di Pulau Sumatera. Hal ini Berdasarkan informasi yang dirilis Indonesian National  Carbon Accounting Sistem (INCA). Dalam data yang disampaikannya, Riau memiliki luas wilayah kurang lebih 8,7 juta hektare, dengan 3,9 hektare diantaranya merupakan daerah gambut. Artinya hampir setengah wilayah negri melayu ini merupakan area yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, baik itu rawan terbakar, maupun kerusakan lahan akibat tingginya permintaan perluasan kawasan perkebunan di Riau.

Pada tahun 2014-2015 lalu misalnya, Provinsi Riau menjadi salah satu daerah penyumbang asap untuk pulau sumatera selain Jambi dan Palembang. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terjadi hampir diseluruh area gambut yang tersebar di kabupaten/kota yang ada di Riau. Bahkan dalam penyelesaian guna pemadaman api saat itu, presiden Jokowi harus turun gunung untuk melakukan pemantauan kebakaran di wilayah Kabupaten Kampar, Riau.


Tentunya ini cukup berdampak buruk baik itu secara kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingginya pasien penderita Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) saat itu. Tidak hanya kesehatan saja, dampak karhutla juga terkait kerusakan ekosistem yang ada diwilayah gambut tersebut. Apalagi kita tahu, beberapa wilayah gambut di Riau merupakan habitat hewan yang langka, seperti misalnya Harimau Sumatera, trenggiling, beberapa jenis burung dan juga Tapir.


Ket Foto: Kawasan gambut rusak akibat hilangnya habitat asli (foto by google)


Namun, jika berbicara tentang kerusakan lahan gambut, cakupannya tentu tidak hanya sebatas wilayah Riau saja. Karena dalam kenyataanya, rusaknya area gambut sendiri dapat berakibat terhadap tingginya sumbangan emisi karbon, yang berbahaya bagi udara di Riau pada khusunya, dan juga Indonesia pada umumnya. Sehingga perlu dilakukan banyak regulasi, agar hal ini tidak berlanjut untuk seterusnya.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya saat ini telah membentuk sebuah badan, yang memiliki nama Badan Restorasi Gambut (BRG). Yang mana salah satu tujuan dibentuknya badan ini adalah fokus melakukan peningkatan restorasi di tujuh daerah gambut, yang salah satunya adalah Provinsi Riau. Upaya yang dilakukan tersebut tentu perlu pula mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat yang ada di Riau.

Melakukan restorasi terhadap area yang sebelumnya sudah cukup rusak, tentu bukan pula hal yang mudah. Apalagi dalam hal ini, perlu adanya biaya besar yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun sulit belum tentu pula berarti tidak mungkin, karena pada dasarnya hal yang sangat penting dalam upaya restorasi gambut ini adalah kesadaran dari masyarakat diwilayah gambut itu sendiri. Selain itu, upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan pendekatan secara masiv terhadap beberapa konsesi yang memiliki wilayah kerja di area gambut.

Mengubah paradigma masyarakat untuk memperhatikan kawasan gambut akan cukup sulit, ketika hanya berbicara tentang restorasi saja. Karena pola fikir masyarakat masih tertuju pada keuntungan yang akan didapatkan jika melakukan sesuatu hal. Ini merupakan tugas penting yang harus dilakukan, dengan mengubah pola fikir yang ada menjadi keperdulian terhadap lestarinya alam disekitar mereka.
Sebuah ibarat mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. 

Artinya masih sangat besar kemungkinan restorasi dapat dilakukan di area rawan terbakar, selama ada dukungan dari semua unsur yang terkait didalamnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar mau ikut serta melakukan upaya restorasi tersebut. Sebab, dengan adanya dukungan dari masyarakat tempatan, pemerintah juga dapat menjadikan kegiatan restorasi sebagai sarana peningkatan ekonomi warga.

2.  Rehabilitasi Paludy Culture dalam Restorasi

Berbicara tentang upaya restorasi, akan banyak pilihan cara yang dapat dilakukan. Mulai dari yang paling ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan penyebab kebakaran lahan, penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan, sampai idengan upaya paling damai melalui rehabilitasi kawasan eks karhutla. Namun disini penulis akan lebih memfokuskan restorasi melalui kegiatan rehabilitasi melalui penanaman secara paludy culture.

Sebelum berbicara jauh tentang metode ini, tentunya kita harus faham terlebih dahulu tentang apa itu paludy culture. Dalam pengertiannya, Paludy culture ini sendiri merupakan jenis dari reboisasi tanaman. Namun, jika pada umumnya upaya reboisasi menggunakan segala jenis tanaman, dalam parody culture tanaman yang akan dikembalikan bersifat habitat asli dari kawasan yang akan di rehabilitasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tanaman yang direhabilitasi benar-benar tahan dengan segala kemungkinan yang menyebabkan tanaman tersebut mati atau tidak dapat tumbuh dengan baik.
Tetap akan ada pertanyaan mengapa tidak menanam kelapa sawit saja, apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit merupakan target utama masyarakat ketika mengelola lahan yang dimilikinya. Untuk jenis tanaman yang satu ini, perlu diberikan pemahaman, jika keberadaanya cukup banyak menghabiskan jumlah air di lahan gambut, sehingga dapat menyebabkan area gambut rentan terbakar. Untuk itulah, sudah saatnya menanam kelapa sawit di lahan gambut diminimalisir

Ket Foto: Membekali masyarakat tentang pengetahuan perbanyakan tanaman


Pemilihan tanaman dalam upaya rehabilitasi sangat penting untuk dipertimbangkan. Apalagi pada kawasan yang memang merupakan hak warga masyarakat desa. Tentu masyarakat akan enggan untuk melakukan rehabilitasi, jika pada akhirnya lahan yang mereka miliki berakhir dengan kawasan yang tidak memiliki nilai ekonomis. Sebab, biasanya keberadaan lahan tersebut merupakan sumber utama perekonomian masyarakat.

Untuk hal ini, keterlibatan pendampingan terhadap wilayah kawasan gambut sangat perlu dilakukan. Karena dengan adanya pendampingan, masyarakat akan diberikan pemahaman dan wawasan yang lebih luas tentang menjaga kestabilan kawasan gambut. Selain itu, tentunya dengan adanya dampingan, masyarakat juga mengetahui tentang tanaman yang baik dalam upaya rehabilitasi sekaligus sumber ekonomi yang menguntungkan.

Adapun untuk daerah gambut Riau, beberapa jenis tanaman yang bisa dikembangkan diantaranya seperti kayu mahang,  jelutung, sagu, nenas, kopi, dan tanaman endemic hutan lainnya. Selain dapat melindungi lahan gambut dari kerusakan dan kebakaran, tanaman tersebut sebenarnya juga diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu peningkatan ekonomi masyarakat.

3. Tanaman Kopi Dalam Angka

ket foto: kopi menjadi salah satu tanaman bernilai ekonomis diwilayah gambut.


Untuk lebih memfokuskan tentang upaya restorasi melalui paludyculture, disini penulis akan membahas salah satu tanaman yang baik untuk dikembangkan di kawasan lahan gambut, yaitu kopi. Memang pada awalnya kita akan berfikir, bagaimana kopi dapat tumbuh didaerah gambut, karena sebagaimana kita lihat, untuk jenis kopi arabika misalnya, biasanya petani melakukan penanaman didaerah dataran tinggi.

Setelah penulis membaca beberapa refrensi, untuk jenis tanah bergambut, pilihan kopi yang dapat dikembangkan adalah jenis liberika. Untuk saat ini saja, sudah ada beberapa daerah di Provinsi Riau yang melakukan pengembangan perkebunan kopi jenis ini. Seperti misalnya Kabupaten Indra Giri Hilir, Kabupaten Pelelawan, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. 

ket foto: kopi siap dikemas (Illustrasi by google)


Kopi Meranti, beginilah biasanya orang menyebut salah satu jenis kopi liberika dari ujung laut Provinsi Riau ini. Penjualan utamanya saat ini masih di ekspor ke Negara Asia Tenggara, seperti Malaysia. Meskipun peminat dalam negri nya masih belum terbilang maksimal, bukan tidak mungkin kopi jenis ini akan mendapatkan perhatian dari warga penikmat kopi, ketika nantinya ada upaya pemasaran yang baik.

Inilah tugas penting yang sebenarnya tidak hanya menjadi tanggung jawab petani kopi saja, namun juga menjadi kewajiban bagi pemerintah. Sebab, dengan adanya kemauan masyarakat gambut untuk mengembangkan perkebunan kopi, akan membantu upaya restorasi yang telah di gadang-gadang oleh pemerintah beberapa tahun belakangan.

Untuk angka ekonomis yang dapat dihasilkan dari hasil penjualan kopi jenis liberika sendiri, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 s/d Rp. 100.000 untuk setiap kemasannya. Artinya semakin baik kopi yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula harga yang didapatkan petani kopi. Tentu hal ini juga berbanding lurus dengan kemenarikan kemasan, dan juga tingkat  distribusinya.

Saat ini, petani kopi di Indonesia rata-rata baru menghasilkan sekitar 700 s/d 1000 Kg kopi untuk setiap hektar nya pertahun. Artinya jika kita mengambil sampel harga kopi Rp 30.000 untuk perkilonya, maka pendapatan yang dihasilkan oleh petani untuk setahun berkisar di angka Rp. 21.000.000 s/d Rp 30.000.000 untuk setiap hektarnya

Jumlah ini sendiri sebetulnya masih belum terbilang maksimal, jika dibandingkan dengan pendapatan petani kelapa sawit, hal ini dikarenakan petani kopi masih sekedar menanam kopi saja. Sebenarnya selain menanam kopi, petani juga bisa mengembangkan jenis tanaman lainnya di perkebunan kopi yang dimilikinya, seperti misalnya sayur-sayuran, dan beberapa jenis tanaman holti kultura.

Mengingat untuk memaksimalkan hasil yang dimiliki petani dalam setiap hektar kebun kopi, maka tanaman kopi juga harus mendapatkan perhatian lebih, apalagi untuk beberapa tahun pertama, sebelum kopi menghasilkan buah yang dapat dipetik oleh petani.

4. Implementasi Perkebunan Kopi


Ket Foto: jarak tanam kopi sebaiknya disesuaikan dengan keadaan lokasi lahan


Setelah membahas mengenai nilai ekonomis yang mungkin didapatkan dengan mengembangkan perkebunan kopi, maka yang seterusnya akan penulis coba jelaskan adalah tata cara penanaman dan perawatan tanaman kopi. Dalam hal ini, yang pertama kali harus dipersiapkan oleh petani adalah tanaman pelindung. Kopi merupakan tanaman yang tidak bisa terkena sinar matahari secara langsung, sehingga perlu ada tanaman untuk melindunginya.

Adapun beberapa jenis tanaman pelindung yang biasa digunakan petani kopi pada umumnya seperti sengon, pohon pinang, dan bisa juga pohon habitat daerah gambut seperti mahang dan jelutung. Biasanya, untuk pertama kali menanam kopi, petani harus menunggu pohon pelindung tumbuh tinggi. Ini bisa 2 sampai 4 tahun, sehingga pohon pelindung benar-benar sudah mampu menyamarkan sinar matahari yang menyinari bibit tanaman kopi.

Selain pohon pelindung, lahan yang akan digunakan untuk menanam kopi sebaiknya juga bersih dari tanaman pengganggu (gulma). Sebab, tanaman gulma yang tumbuh disekitar pembibitan akan mengganggu pertumbuhan awal tanaman kopi.

Setelah itu, persiapkan lubang untuk menanam bibit kopi, dengan lebar kurang lebih 70X70 cm. Sebaiknya tanah yang akan digunakan sebagai lahan perkebunan kopi, dipadatkan, sekaligus mengurangi tingkat keasaman tanah. Sedangkan untuk jarak, petani bisa mengatur jarak 3 sampai dengan 4 meter untuk masing-masingnya. Namun perlu diperhatikan, untuk lebih baik lubang yang akan ditanami kopi diisi terlebih dulu dengan pupuk kompos atau organik.

Kegunaan pupuk organic dalam pengelolaan perkebunan kopi sangat penting, karena pada dasarnya pupuk organic akan lebih baik dalam hal mengurangi tingkat keasaman yang cukup tinggi di area gambut. Hal ini perlu diperhatikan, apalagi jenis kopi liberika sendiri biasanya memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan kopi jenis arabika dan robusta.

Tanaman Kopi sendiri sebenarnya cukup rentan terkena hama dan juga penyakit, sehingga agar dapat memaksimalkan hasil yang didaptkan, sebaiknya petani kopi harus rajin melakukan pengecekan. Jika memang tanaman terserang hama atau penyakit, maka dapat diantisipasi sedini mungkin. Beberapa hama yang sering menyerang tanaman kopi adalah hama kutu, bubuk batang kopi, dan kerat daun. Untuk masing-masingnya juga memiliki penyelesaian yang berbeda pula.

 Adapun setelah mendapatkan perawatan yang baik, petani harus menunggu antara 2 sampai 3 tahun untuk pertama kali panen. Namun jumlah panen maksimal biasanya baru akan didapatkan oleh petani pada tahun ke 7 sampai 9.


SEPENGGAL KISAH DARI NEGERI PESISIR


Oleh: Khaidir Air





“kami tu tepakso melaot, tak ado kejo lain”. Kata-kata dari nelayan tersebut terus menerus ber-onani didalam pikiran penulis. Apa yang bisa penulis bantu untuk menyelesaikan masalah ini. Betapa tidak, dengan laut yang luas terbentang yang didalamnya terdapat berbagai macam sumberdaya ikan tetapi ternyata masih ada masyarakat kita yang menangis saat melihat daratan ketika pulang dari melaut. Bagaimana dengan jajan sekolah anak besok, apakah masih bisa ngutang beras dikedai hari ini, apakah…apakah..apakah, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang timbul menjelang perahu sang nelayan tiba di tepi pantai. Tatapan yang jauh terkadang tidak menyadarkannya bahwa mereka telah sampai ke bibir pantai. Seperti tak ingin pulang kerumah. Kepada siapa harus mengadu atas kondisi perekonomian yang mereka rasakan sekarang ini. “besar pasak dari pada tiang”, begitulah kenyataan yang dirasakan oleh nelayan yang berada di daerah bengkalis khususnya yang berada di selat bengkalis.



Hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Hal ini tak lain dan tak bukan karena semakin berkurangnya hasil tangkapan, masalah ekonomi yang dalam hal ini adalah terkadang alat dan armada yang dalam keadaan tidak ready, regulasi-regulasi pemerintah yang tidak memihak kepada kondisi masyarakat saat ini, konflik antar alat tangkap yang digunakan seiring tidak adanya pengawasan dan ketegasan pihak terkait serta runtuhnya kearifan lokal yang dahulu pernah ada. Tulisan ini semoga menjadi jembatan kepada kita semua untuk mengetahui bahwa begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh mereka (nelayan).
Untuk itu penulis mencoba membahasnya satu persatu agar kita semua paham terus sadar dan timbul rasa peduli. Baiklah, penulis akan mencoba paparkan beberapa permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas.

Penyebab Berkurangnya Hasil Tangkapan Ekologi

Berbicara masalah ikan tentunya tidak terlepas pada lingkungannya yaitu air. Lingkungan perairan khususnya di wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem seperti mangrove, lamun dan terumbu karang. Dengan kondisi perairan selat bengkalis yang berada di daerah semi tertutup dan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan ekosistem yang dominan terdapat di wilayah ini adalah ekosistem mangrove, walaupun terkadang masih di jumpai terdapatnya lamun dan karang (jenis ahermatypic).
Ket Foto:Keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu ekosistem yang diperlukan oleh ikan













Dalam ekosistem mangrove terdapat berbagai jenis mahluk hidup yang memiliki habitat dan relung ekologi. Berbagai jenis mahluk hidup tersebut hidup bersama dan saling berinteraksi. Nah, didalam ekosistem tersebut terjadi rantai makanan yaitu suatu jejaring makanan dan interaksi mangsa dan dimangsa dari produsen ke herbivore kemudian ke karnivor yang ahirnya kembali lagi ke pengurai (proses biogeokimia).
Jadi kesimpulannya, karena berawal dari rusaknya hutan mangrove menyebabkan proses biogeokimia terganggu sehingga fungsi mangrove seperti tempat mencari makan (feeding ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan memijah (spawning ground) terganggu. Akibat terganggunya system tersebut maka terjadi dua kemungkinan; pertama adalah berpindahnya berbagai biota terutama ikan (ruaya) ke tempat yang aman dan kedua adalah mati karena ketersediaan makanan habis. Dengan demikian tidak mengherankan apabila populasi biota yang terdapat di ekosistem ini terutama ikan menjadi menurun.

Selanjutnya yang menjadi penyebab berkurangnya hasil tangkapan adalah akibat aktifitas langsung masyarakat terutama nelayan. Konversi lahan pesisir yang awalnya adalah hutan mangrove memberikan dampak negative seperti yang telah disebutkan diatas. Selain itu pengerusakan akibat aktifitas penangkapan yang bersifat destruktif (merusak) telah dari dahulu dilakukan namun pada saat sekarang menimbulkan dampaknya. Alat tangkap destruktif yang dimaksud adalah langgai/langgen (bahasa setempat). Pengoperasian alat tangkap ini adalah didorong dengan perahu motor dimana alat tangkap tersebut jejak sampai dasar perairan. Biasanya alat tangkap tersebut dioperasikan di daerah tepi pantai. Dengan kondisi demikian menyebabkan habitat dasar perairan seperti karang (ahermatypic) hancur dan musnah. Penangkapan biota dasar seperti ini telah dilakukan sejak dahulu, dari satu pantai ke pantai yang lain sepanjang pesisir selat bengkalis. Bagaimana tidak, kalau karang tersebut akan habis karena tidak diberi waktu untuk pulih dan mengembalikan komunitasnya kembali (resiliensi). Ini adalah salah satu faktor yang sangat penting namun tidak diketahui oleh masyarakat. “kemalah ikan harus berteduh dan mengadu nasib lagi”.

Selanjutnya setelah diakibatkan oleh konversi hutan mangrove, aktifitas penangkapan oleh langgai/langgen, kini ada lagi penyebabnya yaitu pencemaran. Meskipun pencemaran yang terjadi masih dalam kategori terkontaminasi namun menjadi pendukung rusaknya ekosistem sehingga berkurangnya populasi ikan. Sampai saat sekarang masih ditemukan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan racun potas. Tidak hanya biota target yang terkena dampak negatifnya namun juga lingkungannya sehingga biota lain yang pemakan serasah dan tumbuhan lain ikut merasakan dampaknya sehingga jika dalam konsentrasi racun yang tinggi dapat mengakibatkan kematian. Dengan demikian tentunya terjadi ketimpangan di dalam system. Selain oleh racun potas, juga terjadi pencemaran yang diakibatkan oleh air ballas tanker dan semakin banyaknya jumlah kapal motor yang ada, limbah pemukiman, limbah industry dan juga runoff dari daratan.

Armada dan Alat Tangkap yang Tidak Ready

Ket Foto: Armada kapal untuk penangkap ikan (Illustrasi foto by google)

Dalam bab ini penulis mencoba memaparkan bagaimana kondisi nelayan kecil yang terdapat di rupat utara kabupaten bengkalis. Rata-rata nelayan kecil yang ada di rupat utara melaut menggunakan perahu motor jenis speed boat. Yang selalu menjadi permasalahan disini adalah ketika usia mesin boat tersebut sudah tua disertai alat tangkap yang telah rusak. Alat-alat onderdil mesin ini termasuk barang mahal bagi nelayan setempat. Untuk mengganti dan memperbaikinya minimal harus memiliki hasil tangkapan 1 sampai 2 hari. Masalahnya, pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan mencari barang gaib, tidak terlihat. Terkadang hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak tercukupi, apalagi untuk mengganti atau memperbaiki mesin dan alat tangkap. Solusinya adalah tetap melaut dengan kondisi armada dan alat tangkap yang sakit. Ada kadang tidak dapat sama sekali ikan ekonomis yang bisa dijual. Apakah melaut tidak memerlukan minyak dan lain-lain?. Begitulah kompleksnya permasalahan yang dihadapi para nelayan tersebut.
Mungkin bagi nelayan yang memiliki penghasila n lain selain dari melaut tidak begitu susah karena mereka tidak perlu menghutang keperluan dapur dan dalam hal memperbaiki mesin dan alat tangkap.
Kesimpulannya adalah, selain memang dikarenakan populasi ikan yang sudah semakin berkurang juga disebabkan oleh tidak optimalnya armada dan alat tangkap yang digunakan. Sehingga tidak salah kalau nelayan kecil selalu berada dalam himpitan ekonomi.

Regulasi Pemerintah dan Kearifan Lokal mengenai terubuk

Semenjak keluarnya keputusan menteri kelautan dan perikanan republic Indonesia no 59 tahun 2011 tentang penetapan status perlindungan terbatas jenis ikan terubuk (tenualosa macrura) menyebabkan permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan yang berada di selat bengkalis semakin serius. Adapun hasil keputusan tersebut menyebutkan bahwa ikan terubuk yang masuk ke perairan selat bengkalis pada saat bulan terang di bulan agustus sampai November setiap tanggal 13, 14, 15 dan 16 dan pada bulan gelap di bulan agustus sampai November setiap tanggal 28, 29, 30 dan 1 kalender hijriah dilarang melakukan penangkapan.
Penulis mencoba menuangkan pemikiran terhadap kondisi ini. Secara ekologi, peraturan menteri tersebut memang sangat penting mengingat ikan terubuk merupakan ikan endemic yang terdapat di selat bengkalis dengan kondisi yang terancam punah. Kepunahan tersebut dikarenakan hubungan antara siklus hidup dan penangkapan. Ikan terubuk masuk ke perairan bengkalis hanya pada saat akan memijah. Setelah memijah mereka akan kembali ke selat malaka dan lautan luas. Disisi lain, dikarenakan memang budaya masyarakat adalah melaut maka memang dari hasil itulah mereka menggantungkan hidup. Hampir setiap hari mereka menjaring ikan.
Dari sini tentunya pembaca langsung dapat memvonis bahwa hal ini akan menjadi masalah. Masalah antara kepentingan dan kebutuhan. Satu sisi penyelamatan harus dilakukan dan disisi lain, dapur harus berasap. Nelayan berani mati apabila sudah menjadi urusan perut.
Disini saya tidak berpihak kepada siapapun karena saya akan menginvestigasi lebih lanjut tentang permasalahan ini, Cuma saat ini saya hanya mengutarakan kesimpulan awal sejauh yang saya ketahui.

Menurut saya, ini hanya masalah kepentingan dan kebutuhan. Pemerintah melakukan pelarangan terhadap penangkapan ikan terubuk tersebut sebenarnya juga nantinya untuk masyarakat. Bagaimana mencegah supaya ikan terubuk tidak menjadi legenda dan anak cucu tetap dapat merasakan bagaimana enak dan mahalnya ikan tersebut. harapan tersebut kita akui sebagai output jangka panjang. Namun, bagaimana untuk kondisi jangka pendek. Kondisinya sekarang ini pemerintah juga harus mengetahui bahwa pada musim tersebutlah masyarakat menyebutnya sebagai “musim emas”. Segala utang piutang diluar musim tersebut dapat dilunasi. Memang, dahulu pernah ada kearifan lokal yang bernama “semah terubuk” yang tujuannya sama dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah saat ini. Bahkan, masyarakat sangat menghormati semah tersebut sehingga tidak seorangpun yang berani menangkap terubuk pada waktu yang ditentukan.

Menurut hemat saya, sebenarnya baik itu kearifan lokal maupun regulasi pemerintah adalah sama saja namun kondisinya sangat jauh berbeda dengan saat ini. Dahulu mungkin ketika ada semah terubuk, ada solusi yang diberikan kepada masyarakat agar masyarakat tetap dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun sekarang tidak ada sama sekali. Seharusnya seiring pembuatan regulasi tersebut, pemerintah juga memikirkan dan mencari solusi untuk masyarakat sehingga masyarakat tidak semakin menjerit. Bayangkan, sepanjang musim ikan tersebut beruaya ke halaman mereka, satu haripun tidak dibenarkan menangkap terubuk. Sepertinya, dalam penyusunan peraturan itu tidak ada melibatkan masyarakat. Dengan kata lain hanya memutuskan sepihak. Seharusnya pemerintah sebelum regulasi tersebut diterbitkan, dibuatlah seperti pendampingan seperti pelatihan pengolahan ikan jenis lain dan segala macamnya agar ada alternative lain bagi masyarakat.

Disisi lain, masyarakat juga seharusnya mengerti mengapa pemerintah melakukan hal tersebut. saya tidak tahu apakah sosialisasi tentang pentingnya larangan tersebut pernah ada dan sejauh mana. “pak, bagaimana kalau dalam 8 hari tersebut diberikan toleransi sekitar 4 hari” Tanya saya. “tidak bisa, karena musim itulah waktu emas kami, yang sakit-sakitan pun bersemangat kelaut di waktu tersebut” jawab salah seorang nelayan. maksud pertanyaan saya adalah mencoba mencari jalan tengahnya. Jika musimnya tersebut 8 hari, buatlah agak 4 hari saja agar nelayan juga bisa panen. Ini tidak. Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintah telah melarang penuh selama 8 hari tersebut untuk tidak menangkap terubuk, sedangkan diluar itu tidak akan ada lagi terubuk yang tertangkap. Jadi maksud saya, mau tidak mau apabila disepakati oleh nelayan seperti yang telah saya tanyakan tadi, maka kepmen tersebut harus dirubah karena dipastikan akan terjadi konflik. Untuk urusan perut, siapapun berani mati. Jadi dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus duduk bersama dan saling mengerti agar regulasi yang diberlakukan sesuai tujuannya. Tidak sia-sia.

Saya melihat bahwa regulasi yang telah dibuat hanya sebagai symbol karena hanya pengawasan yang ada namun penindakan (sanksi) yang dilakukan juga tidak ada. Masyarakat tetap juga tidak mengindahkan larangan tersebut dan pemerintah juga tidak sanggup memberikan sanksi kepada masyarakat. Artinya, regulasi tersebut hanya seperti baying-bayang yang menghantui. Namun bagaimanapun, tanpa bisa kita pungkiri, sejak keluarnya kepmen tersebut memang sedikit memberi pengaruh positif terhadap peningkatan populasi terubuk saat ini. Ya begitulah Indonesia, selalu menargetkan hasil maksimal tetapi puas dengan hasil minimal. Kesimpulan saya, semuanya harus “BERCARA”.


CONTOH LAPORAN PEMBANGUNAN DEMPLOT AGROFORESTRY

                                                                                                                                            ...