09 Agustus 2018

Restorasi Kawasan Gambut Dalam Hitungan Ekonomis




1. Kawasan Gambut Riau


Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah luasan lahan gambut terbanyak  di Pulau Sumatera. Hal ini Berdasarkan informasi yang dirilis Indonesian National  Carbon Accounting Sistem (INCA). Dalam data yang disampaikannya, Riau memiliki luas wilayah kurang lebih 8,7 juta hektare, dengan 3,9 hektare diantaranya merupakan daerah gambut. Artinya hampir setengah wilayah negri melayu ini merupakan area yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, baik itu rawan terbakar, maupun kerusakan lahan akibat tingginya permintaan perluasan kawasan perkebunan di Riau.

Pada tahun 2014-2015 lalu misalnya, Provinsi Riau menjadi salah satu daerah penyumbang asap untuk pulau sumatera selain Jambi dan Palembang. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terjadi hampir diseluruh area gambut yang tersebar di kabupaten/kota yang ada di Riau. Bahkan dalam penyelesaian guna pemadaman api saat itu, presiden Jokowi harus turun gunung untuk melakukan pemantauan kebakaran di wilayah Kabupaten Kampar, Riau.


Tentunya ini cukup berdampak buruk baik itu secara kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti dengan tingginya pasien penderita Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) saat itu. Tidak hanya kesehatan saja, dampak karhutla juga terkait kerusakan ekosistem yang ada diwilayah gambut tersebut. Apalagi kita tahu, beberapa wilayah gambut di Riau merupakan habitat hewan yang langka, seperti misalnya Harimau Sumatera, trenggiling, beberapa jenis burung dan juga Tapir.


Ket Foto: Kawasan gambut rusak akibat hilangnya habitat asli (foto by google)


Namun, jika berbicara tentang kerusakan lahan gambut, cakupannya tentu tidak hanya sebatas wilayah Riau saja. Karena dalam kenyataanya, rusaknya area gambut sendiri dapat berakibat terhadap tingginya sumbangan emisi karbon, yang berbahaya bagi udara di Riau pada khusunya, dan juga Indonesia pada umumnya. Sehingga perlu dilakukan banyak regulasi, agar hal ini tidak berlanjut untuk seterusnya.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya saat ini telah membentuk sebuah badan, yang memiliki nama Badan Restorasi Gambut (BRG). Yang mana salah satu tujuan dibentuknya badan ini adalah fokus melakukan peningkatan restorasi di tujuh daerah gambut, yang salah satunya adalah Provinsi Riau. Upaya yang dilakukan tersebut tentu perlu pula mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat yang ada di Riau.

Melakukan restorasi terhadap area yang sebelumnya sudah cukup rusak, tentu bukan pula hal yang mudah. Apalagi dalam hal ini, perlu adanya biaya besar yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun sulit belum tentu pula berarti tidak mungkin, karena pada dasarnya hal yang sangat penting dalam upaya restorasi gambut ini adalah kesadaran dari masyarakat diwilayah gambut itu sendiri. Selain itu, upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan pendekatan secara masiv terhadap beberapa konsesi yang memiliki wilayah kerja di area gambut.

Mengubah paradigma masyarakat untuk memperhatikan kawasan gambut akan cukup sulit, ketika hanya berbicara tentang restorasi saja. Karena pola fikir masyarakat masih tertuju pada keuntungan yang akan didapatkan jika melakukan sesuatu hal. Ini merupakan tugas penting yang harus dilakukan, dengan mengubah pola fikir yang ada menjadi keperdulian terhadap lestarinya alam disekitar mereka.
Sebuah ibarat mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. 

Artinya masih sangat besar kemungkinan restorasi dapat dilakukan di area rawan terbakar, selama ada dukungan dari semua unsur yang terkait didalamnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar mau ikut serta melakukan upaya restorasi tersebut. Sebab, dengan adanya dukungan dari masyarakat tempatan, pemerintah juga dapat menjadikan kegiatan restorasi sebagai sarana peningkatan ekonomi warga.

2.  Rehabilitasi Paludy Culture dalam Restorasi

Berbicara tentang upaya restorasi, akan banyak pilihan cara yang dapat dilakukan. Mulai dari yang paling ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan penyebab kebakaran lahan, penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan, sampai idengan upaya paling damai melalui rehabilitasi kawasan eks karhutla. Namun disini penulis akan lebih memfokuskan restorasi melalui kegiatan rehabilitasi melalui penanaman secara paludy culture.

Sebelum berbicara jauh tentang metode ini, tentunya kita harus faham terlebih dahulu tentang apa itu paludy culture. Dalam pengertiannya, Paludy culture ini sendiri merupakan jenis dari reboisasi tanaman. Namun, jika pada umumnya upaya reboisasi menggunakan segala jenis tanaman, dalam parody culture tanaman yang akan dikembalikan bersifat habitat asli dari kawasan yang akan di rehabilitasi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tanaman yang direhabilitasi benar-benar tahan dengan segala kemungkinan yang menyebabkan tanaman tersebut mati atau tidak dapat tumbuh dengan baik.
Tetap akan ada pertanyaan mengapa tidak menanam kelapa sawit saja, apalagi saat ini perkebunan kelapa sawit merupakan target utama masyarakat ketika mengelola lahan yang dimilikinya. Untuk jenis tanaman yang satu ini, perlu diberikan pemahaman, jika keberadaanya cukup banyak menghabiskan jumlah air di lahan gambut, sehingga dapat menyebabkan area gambut rentan terbakar. Untuk itulah, sudah saatnya menanam kelapa sawit di lahan gambut diminimalisir

Ket Foto: Membekali masyarakat tentang pengetahuan perbanyakan tanaman


Pemilihan tanaman dalam upaya rehabilitasi sangat penting untuk dipertimbangkan. Apalagi pada kawasan yang memang merupakan hak warga masyarakat desa. Tentu masyarakat akan enggan untuk melakukan rehabilitasi, jika pada akhirnya lahan yang mereka miliki berakhir dengan kawasan yang tidak memiliki nilai ekonomis. Sebab, biasanya keberadaan lahan tersebut merupakan sumber utama perekonomian masyarakat.

Untuk hal ini, keterlibatan pendampingan terhadap wilayah kawasan gambut sangat perlu dilakukan. Karena dengan adanya pendampingan, masyarakat akan diberikan pemahaman dan wawasan yang lebih luas tentang menjaga kestabilan kawasan gambut. Selain itu, tentunya dengan adanya dampingan, masyarakat juga mengetahui tentang tanaman yang baik dalam upaya rehabilitasi sekaligus sumber ekonomi yang menguntungkan.

Adapun untuk daerah gambut Riau, beberapa jenis tanaman yang bisa dikembangkan diantaranya seperti kayu mahang,  jelutung, sagu, nenas, kopi, dan tanaman endemic hutan lainnya. Selain dapat melindungi lahan gambut dari kerusakan dan kebakaran, tanaman tersebut sebenarnya juga diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu peningkatan ekonomi masyarakat.

3. Tanaman Kopi Dalam Angka

ket foto: kopi menjadi salah satu tanaman bernilai ekonomis diwilayah gambut.


Untuk lebih memfokuskan tentang upaya restorasi melalui paludyculture, disini penulis akan membahas salah satu tanaman yang baik untuk dikembangkan di kawasan lahan gambut, yaitu kopi. Memang pada awalnya kita akan berfikir, bagaimana kopi dapat tumbuh didaerah gambut, karena sebagaimana kita lihat, untuk jenis kopi arabika misalnya, biasanya petani melakukan penanaman didaerah dataran tinggi.

Setelah penulis membaca beberapa refrensi, untuk jenis tanah bergambut, pilihan kopi yang dapat dikembangkan adalah jenis liberika. Untuk saat ini saja, sudah ada beberapa daerah di Provinsi Riau yang melakukan pengembangan perkebunan kopi jenis ini. Seperti misalnya Kabupaten Indra Giri Hilir, Kabupaten Pelelawan, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. 

ket foto: kopi siap dikemas (Illustrasi by google)


Kopi Meranti, beginilah biasanya orang menyebut salah satu jenis kopi liberika dari ujung laut Provinsi Riau ini. Penjualan utamanya saat ini masih di ekspor ke Negara Asia Tenggara, seperti Malaysia. Meskipun peminat dalam negri nya masih belum terbilang maksimal, bukan tidak mungkin kopi jenis ini akan mendapatkan perhatian dari warga penikmat kopi, ketika nantinya ada upaya pemasaran yang baik.

Inilah tugas penting yang sebenarnya tidak hanya menjadi tanggung jawab petani kopi saja, namun juga menjadi kewajiban bagi pemerintah. Sebab, dengan adanya kemauan masyarakat gambut untuk mengembangkan perkebunan kopi, akan membantu upaya restorasi yang telah di gadang-gadang oleh pemerintah beberapa tahun belakangan.

Untuk angka ekonomis yang dapat dihasilkan dari hasil penjualan kopi jenis liberika sendiri, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 s/d Rp. 100.000 untuk setiap kemasannya. Artinya semakin baik kopi yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula harga yang didapatkan petani kopi. Tentu hal ini juga berbanding lurus dengan kemenarikan kemasan, dan juga tingkat  distribusinya.

Saat ini, petani kopi di Indonesia rata-rata baru menghasilkan sekitar 700 s/d 1000 Kg kopi untuk setiap hektar nya pertahun. Artinya jika kita mengambil sampel harga kopi Rp 30.000 untuk perkilonya, maka pendapatan yang dihasilkan oleh petani untuk setahun berkisar di angka Rp. 21.000.000 s/d Rp 30.000.000 untuk setiap hektarnya

Jumlah ini sendiri sebetulnya masih belum terbilang maksimal, jika dibandingkan dengan pendapatan petani kelapa sawit, hal ini dikarenakan petani kopi masih sekedar menanam kopi saja. Sebenarnya selain menanam kopi, petani juga bisa mengembangkan jenis tanaman lainnya di perkebunan kopi yang dimilikinya, seperti misalnya sayur-sayuran, dan beberapa jenis tanaman holti kultura.

Mengingat untuk memaksimalkan hasil yang dimiliki petani dalam setiap hektar kebun kopi, maka tanaman kopi juga harus mendapatkan perhatian lebih, apalagi untuk beberapa tahun pertama, sebelum kopi menghasilkan buah yang dapat dipetik oleh petani.

4. Implementasi Perkebunan Kopi


Ket Foto: jarak tanam kopi sebaiknya disesuaikan dengan keadaan lokasi lahan


Setelah membahas mengenai nilai ekonomis yang mungkin didapatkan dengan mengembangkan perkebunan kopi, maka yang seterusnya akan penulis coba jelaskan adalah tata cara penanaman dan perawatan tanaman kopi. Dalam hal ini, yang pertama kali harus dipersiapkan oleh petani adalah tanaman pelindung. Kopi merupakan tanaman yang tidak bisa terkena sinar matahari secara langsung, sehingga perlu ada tanaman untuk melindunginya.

Adapun beberapa jenis tanaman pelindung yang biasa digunakan petani kopi pada umumnya seperti sengon, pohon pinang, dan bisa juga pohon habitat daerah gambut seperti mahang dan jelutung. Biasanya, untuk pertama kali menanam kopi, petani harus menunggu pohon pelindung tumbuh tinggi. Ini bisa 2 sampai 4 tahun, sehingga pohon pelindung benar-benar sudah mampu menyamarkan sinar matahari yang menyinari bibit tanaman kopi.

Selain pohon pelindung, lahan yang akan digunakan untuk menanam kopi sebaiknya juga bersih dari tanaman pengganggu (gulma). Sebab, tanaman gulma yang tumbuh disekitar pembibitan akan mengganggu pertumbuhan awal tanaman kopi.

Setelah itu, persiapkan lubang untuk menanam bibit kopi, dengan lebar kurang lebih 70X70 cm. Sebaiknya tanah yang akan digunakan sebagai lahan perkebunan kopi, dipadatkan, sekaligus mengurangi tingkat keasaman tanah. Sedangkan untuk jarak, petani bisa mengatur jarak 3 sampai dengan 4 meter untuk masing-masingnya. Namun perlu diperhatikan, untuk lebih baik lubang yang akan ditanami kopi diisi terlebih dulu dengan pupuk kompos atau organik.

Kegunaan pupuk organic dalam pengelolaan perkebunan kopi sangat penting, karena pada dasarnya pupuk organic akan lebih baik dalam hal mengurangi tingkat keasaman yang cukup tinggi di area gambut. Hal ini perlu diperhatikan, apalagi jenis kopi liberika sendiri biasanya memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi pula dibandingkan dengan kopi jenis arabika dan robusta.

Tanaman Kopi sendiri sebenarnya cukup rentan terkena hama dan juga penyakit, sehingga agar dapat memaksimalkan hasil yang didaptkan, sebaiknya petani kopi harus rajin melakukan pengecekan. Jika memang tanaman terserang hama atau penyakit, maka dapat diantisipasi sedini mungkin. Beberapa hama yang sering menyerang tanaman kopi adalah hama kutu, bubuk batang kopi, dan kerat daun. Untuk masing-masingnya juga memiliki penyelesaian yang berbeda pula.

 Adapun setelah mendapatkan perawatan yang baik, petani harus menunggu antara 2 sampai 3 tahun untuk pertama kali panen. Namun jumlah panen maksimal biasanya baru akan didapatkan oleh petani pada tahun ke 7 sampai 9.


Tidak ada komentar:

CONTOH LAPORAN PEMBANGUNAN DEMPLOT AGROFORESTRY

                                                                                                                                            ...