09 Agustus 2018

SEPENGGAL KISAH DARI NEGERI PESISIR


Oleh: Khaidir Air





“kami tu tepakso melaot, tak ado kejo lain”. Kata-kata dari nelayan tersebut terus menerus ber-onani didalam pikiran penulis. Apa yang bisa penulis bantu untuk menyelesaikan masalah ini. Betapa tidak, dengan laut yang luas terbentang yang didalamnya terdapat berbagai macam sumberdaya ikan tetapi ternyata masih ada masyarakat kita yang menangis saat melihat daratan ketika pulang dari melaut. Bagaimana dengan jajan sekolah anak besok, apakah masih bisa ngutang beras dikedai hari ini, apakah…apakah..apakah, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang timbul menjelang perahu sang nelayan tiba di tepi pantai. Tatapan yang jauh terkadang tidak menyadarkannya bahwa mereka telah sampai ke bibir pantai. Seperti tak ingin pulang kerumah. Kepada siapa harus mengadu atas kondisi perekonomian yang mereka rasakan sekarang ini. “besar pasak dari pada tiang”, begitulah kenyataan yang dirasakan oleh nelayan yang berada di daerah bengkalis khususnya yang berada di selat bengkalis.



Hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Hal ini tak lain dan tak bukan karena semakin berkurangnya hasil tangkapan, masalah ekonomi yang dalam hal ini adalah terkadang alat dan armada yang dalam keadaan tidak ready, regulasi-regulasi pemerintah yang tidak memihak kepada kondisi masyarakat saat ini, konflik antar alat tangkap yang digunakan seiring tidak adanya pengawasan dan ketegasan pihak terkait serta runtuhnya kearifan lokal yang dahulu pernah ada. Tulisan ini semoga menjadi jembatan kepada kita semua untuk mengetahui bahwa begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh mereka (nelayan).
Untuk itu penulis mencoba membahasnya satu persatu agar kita semua paham terus sadar dan timbul rasa peduli. Baiklah, penulis akan mencoba paparkan beberapa permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas.

Penyebab Berkurangnya Hasil Tangkapan Ekologi

Berbicara masalah ikan tentunya tidak terlepas pada lingkungannya yaitu air. Lingkungan perairan khususnya di wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem seperti mangrove, lamun dan terumbu karang. Dengan kondisi perairan selat bengkalis yang berada di daerah semi tertutup dan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan ekosistem yang dominan terdapat di wilayah ini adalah ekosistem mangrove, walaupun terkadang masih di jumpai terdapatnya lamun dan karang (jenis ahermatypic).
Ket Foto:Keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu ekosistem yang diperlukan oleh ikan













Dalam ekosistem mangrove terdapat berbagai jenis mahluk hidup yang memiliki habitat dan relung ekologi. Berbagai jenis mahluk hidup tersebut hidup bersama dan saling berinteraksi. Nah, didalam ekosistem tersebut terjadi rantai makanan yaitu suatu jejaring makanan dan interaksi mangsa dan dimangsa dari produsen ke herbivore kemudian ke karnivor yang ahirnya kembali lagi ke pengurai (proses biogeokimia).
Jadi kesimpulannya, karena berawal dari rusaknya hutan mangrove menyebabkan proses biogeokimia terganggu sehingga fungsi mangrove seperti tempat mencari makan (feeding ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan memijah (spawning ground) terganggu. Akibat terganggunya system tersebut maka terjadi dua kemungkinan; pertama adalah berpindahnya berbagai biota terutama ikan (ruaya) ke tempat yang aman dan kedua adalah mati karena ketersediaan makanan habis. Dengan demikian tidak mengherankan apabila populasi biota yang terdapat di ekosistem ini terutama ikan menjadi menurun.

Selanjutnya yang menjadi penyebab berkurangnya hasil tangkapan adalah akibat aktifitas langsung masyarakat terutama nelayan. Konversi lahan pesisir yang awalnya adalah hutan mangrove memberikan dampak negative seperti yang telah disebutkan diatas. Selain itu pengerusakan akibat aktifitas penangkapan yang bersifat destruktif (merusak) telah dari dahulu dilakukan namun pada saat sekarang menimbulkan dampaknya. Alat tangkap destruktif yang dimaksud adalah langgai/langgen (bahasa setempat). Pengoperasian alat tangkap ini adalah didorong dengan perahu motor dimana alat tangkap tersebut jejak sampai dasar perairan. Biasanya alat tangkap tersebut dioperasikan di daerah tepi pantai. Dengan kondisi demikian menyebabkan habitat dasar perairan seperti karang (ahermatypic) hancur dan musnah. Penangkapan biota dasar seperti ini telah dilakukan sejak dahulu, dari satu pantai ke pantai yang lain sepanjang pesisir selat bengkalis. Bagaimana tidak, kalau karang tersebut akan habis karena tidak diberi waktu untuk pulih dan mengembalikan komunitasnya kembali (resiliensi). Ini adalah salah satu faktor yang sangat penting namun tidak diketahui oleh masyarakat. “kemalah ikan harus berteduh dan mengadu nasib lagi”.

Selanjutnya setelah diakibatkan oleh konversi hutan mangrove, aktifitas penangkapan oleh langgai/langgen, kini ada lagi penyebabnya yaitu pencemaran. Meskipun pencemaran yang terjadi masih dalam kategori terkontaminasi namun menjadi pendukung rusaknya ekosistem sehingga berkurangnya populasi ikan. Sampai saat sekarang masih ditemukan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan racun potas. Tidak hanya biota target yang terkena dampak negatifnya namun juga lingkungannya sehingga biota lain yang pemakan serasah dan tumbuhan lain ikut merasakan dampaknya sehingga jika dalam konsentrasi racun yang tinggi dapat mengakibatkan kematian. Dengan demikian tentunya terjadi ketimpangan di dalam system. Selain oleh racun potas, juga terjadi pencemaran yang diakibatkan oleh air ballas tanker dan semakin banyaknya jumlah kapal motor yang ada, limbah pemukiman, limbah industry dan juga runoff dari daratan.

Armada dan Alat Tangkap yang Tidak Ready

Ket Foto: Armada kapal untuk penangkap ikan (Illustrasi foto by google)

Dalam bab ini penulis mencoba memaparkan bagaimana kondisi nelayan kecil yang terdapat di rupat utara kabupaten bengkalis. Rata-rata nelayan kecil yang ada di rupat utara melaut menggunakan perahu motor jenis speed boat. Yang selalu menjadi permasalahan disini adalah ketika usia mesin boat tersebut sudah tua disertai alat tangkap yang telah rusak. Alat-alat onderdil mesin ini termasuk barang mahal bagi nelayan setempat. Untuk mengganti dan memperbaikinya minimal harus memiliki hasil tangkapan 1 sampai 2 hari. Masalahnya, pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan mencari barang gaib, tidak terlihat. Terkadang hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja tidak tercukupi, apalagi untuk mengganti atau memperbaiki mesin dan alat tangkap. Solusinya adalah tetap melaut dengan kondisi armada dan alat tangkap yang sakit. Ada kadang tidak dapat sama sekali ikan ekonomis yang bisa dijual. Apakah melaut tidak memerlukan minyak dan lain-lain?. Begitulah kompleksnya permasalahan yang dihadapi para nelayan tersebut.
Mungkin bagi nelayan yang memiliki penghasila n lain selain dari melaut tidak begitu susah karena mereka tidak perlu menghutang keperluan dapur dan dalam hal memperbaiki mesin dan alat tangkap.
Kesimpulannya adalah, selain memang dikarenakan populasi ikan yang sudah semakin berkurang juga disebabkan oleh tidak optimalnya armada dan alat tangkap yang digunakan. Sehingga tidak salah kalau nelayan kecil selalu berada dalam himpitan ekonomi.

Regulasi Pemerintah dan Kearifan Lokal mengenai terubuk

Semenjak keluarnya keputusan menteri kelautan dan perikanan republic Indonesia no 59 tahun 2011 tentang penetapan status perlindungan terbatas jenis ikan terubuk (tenualosa macrura) menyebabkan permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan yang berada di selat bengkalis semakin serius. Adapun hasil keputusan tersebut menyebutkan bahwa ikan terubuk yang masuk ke perairan selat bengkalis pada saat bulan terang di bulan agustus sampai November setiap tanggal 13, 14, 15 dan 16 dan pada bulan gelap di bulan agustus sampai November setiap tanggal 28, 29, 30 dan 1 kalender hijriah dilarang melakukan penangkapan.
Penulis mencoba menuangkan pemikiran terhadap kondisi ini. Secara ekologi, peraturan menteri tersebut memang sangat penting mengingat ikan terubuk merupakan ikan endemic yang terdapat di selat bengkalis dengan kondisi yang terancam punah. Kepunahan tersebut dikarenakan hubungan antara siklus hidup dan penangkapan. Ikan terubuk masuk ke perairan bengkalis hanya pada saat akan memijah. Setelah memijah mereka akan kembali ke selat malaka dan lautan luas. Disisi lain, dikarenakan memang budaya masyarakat adalah melaut maka memang dari hasil itulah mereka menggantungkan hidup. Hampir setiap hari mereka menjaring ikan.
Dari sini tentunya pembaca langsung dapat memvonis bahwa hal ini akan menjadi masalah. Masalah antara kepentingan dan kebutuhan. Satu sisi penyelamatan harus dilakukan dan disisi lain, dapur harus berasap. Nelayan berani mati apabila sudah menjadi urusan perut.
Disini saya tidak berpihak kepada siapapun karena saya akan menginvestigasi lebih lanjut tentang permasalahan ini, Cuma saat ini saya hanya mengutarakan kesimpulan awal sejauh yang saya ketahui.

Menurut saya, ini hanya masalah kepentingan dan kebutuhan. Pemerintah melakukan pelarangan terhadap penangkapan ikan terubuk tersebut sebenarnya juga nantinya untuk masyarakat. Bagaimana mencegah supaya ikan terubuk tidak menjadi legenda dan anak cucu tetap dapat merasakan bagaimana enak dan mahalnya ikan tersebut. harapan tersebut kita akui sebagai output jangka panjang. Namun, bagaimana untuk kondisi jangka pendek. Kondisinya sekarang ini pemerintah juga harus mengetahui bahwa pada musim tersebutlah masyarakat menyebutnya sebagai “musim emas”. Segala utang piutang diluar musim tersebut dapat dilunasi. Memang, dahulu pernah ada kearifan lokal yang bernama “semah terubuk” yang tujuannya sama dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah saat ini. Bahkan, masyarakat sangat menghormati semah tersebut sehingga tidak seorangpun yang berani menangkap terubuk pada waktu yang ditentukan.

Menurut hemat saya, sebenarnya baik itu kearifan lokal maupun regulasi pemerintah adalah sama saja namun kondisinya sangat jauh berbeda dengan saat ini. Dahulu mungkin ketika ada semah terubuk, ada solusi yang diberikan kepada masyarakat agar masyarakat tetap dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun sekarang tidak ada sama sekali. Seharusnya seiring pembuatan regulasi tersebut, pemerintah juga memikirkan dan mencari solusi untuk masyarakat sehingga masyarakat tidak semakin menjerit. Bayangkan, sepanjang musim ikan tersebut beruaya ke halaman mereka, satu haripun tidak dibenarkan menangkap terubuk. Sepertinya, dalam penyusunan peraturan itu tidak ada melibatkan masyarakat. Dengan kata lain hanya memutuskan sepihak. Seharusnya pemerintah sebelum regulasi tersebut diterbitkan, dibuatlah seperti pendampingan seperti pelatihan pengolahan ikan jenis lain dan segala macamnya agar ada alternative lain bagi masyarakat.

Disisi lain, masyarakat juga seharusnya mengerti mengapa pemerintah melakukan hal tersebut. saya tidak tahu apakah sosialisasi tentang pentingnya larangan tersebut pernah ada dan sejauh mana. “pak, bagaimana kalau dalam 8 hari tersebut diberikan toleransi sekitar 4 hari” Tanya saya. “tidak bisa, karena musim itulah waktu emas kami, yang sakit-sakitan pun bersemangat kelaut di waktu tersebut” jawab salah seorang nelayan. maksud pertanyaan saya adalah mencoba mencari jalan tengahnya. Jika musimnya tersebut 8 hari, buatlah agak 4 hari saja agar nelayan juga bisa panen. Ini tidak. Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintah telah melarang penuh selama 8 hari tersebut untuk tidak menangkap terubuk, sedangkan diluar itu tidak akan ada lagi terubuk yang tertangkap. Jadi maksud saya, mau tidak mau apabila disepakati oleh nelayan seperti yang telah saya tanyakan tadi, maka kepmen tersebut harus dirubah karena dipastikan akan terjadi konflik. Untuk urusan perut, siapapun berani mati. Jadi dalam hal ini pemerintah dan masyarakat harus duduk bersama dan saling mengerti agar regulasi yang diberlakukan sesuai tujuannya. Tidak sia-sia.

Saya melihat bahwa regulasi yang telah dibuat hanya sebagai symbol karena hanya pengawasan yang ada namun penindakan (sanksi) yang dilakukan juga tidak ada. Masyarakat tetap juga tidak mengindahkan larangan tersebut dan pemerintah juga tidak sanggup memberikan sanksi kepada masyarakat. Artinya, regulasi tersebut hanya seperti baying-bayang yang menghantui. Namun bagaimanapun, tanpa bisa kita pungkiri, sejak keluarnya kepmen tersebut memang sedikit memberi pengaruh positif terhadap peningkatan populasi terubuk saat ini. Ya begitulah Indonesia, selalu menargetkan hasil maksimal tetapi puas dengan hasil minimal. Kesimpulan saya, semuanya harus “BERCARA”.


Tidak ada komentar:

CONTOH LAPORAN PEMBANGUNAN DEMPLOT AGROFORESTRY

                                                                                                                                            ...