1. Kawasan Gambut
Riau
Provinsi Riau
merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah luasan lahan gambut
terbanyak di Pulau Sumatera. Hal ini
Berdasarkan informasi yang dirilis Indonesian National Carbon Accounting Sistem (INCA). Dalam data
yang disampaikannya, Riau memiliki luas wilayah kurang lebih 8,7 juta hektare,
dengan 3,9 hektare diantaranya merupakan daerah gambut. Artinya hampir setengah
wilayah negri melayu ini merupakan area yang sangat rentan terhadap kerusakan
lingkungan, baik itu rawan terbakar, maupun kerusakan lahan akibat tingginya
permintaan perluasan kawasan perkebunan di Riau.
Tentunya ini
cukup berdampak buruk baik itu secara kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti
dengan tingginya pasien penderita Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) saat
itu. Tidak hanya kesehatan saja, dampak karhutla juga terkait kerusakan
ekosistem yang ada diwilayah gambut tersebut. Apalagi kita tahu, beberapa
wilayah gambut di Riau merupakan habitat hewan yang langka, seperti misalnya
Harimau Sumatera, trenggiling, beberapa jenis burung dan juga Tapir.
Ket Foto: Kawasan gambut rusak akibat hilangnya habitat asli (foto by google) |
Namun, jika
berbicara tentang kerusakan lahan gambut, cakupannya tentu tidak hanya sebatas
wilayah Riau saja. Karena dalam kenyataanya, rusaknya area gambut sendiri dapat
berakibat terhadap tingginya sumbangan emisi karbon, yang berbahaya bagi udara
di Riau pada khusunya, dan juga Indonesia pada umumnya. Sehingga perlu
dilakukan banyak regulasi, agar hal ini tidak berlanjut untuk seterusnya.
Pemerintah
Indonesia sendiri sebenarnya saat ini telah membentuk sebuah badan, yang
memiliki nama Badan Restorasi Gambut (BRG). Yang mana salah satu tujuan
dibentuknya badan ini adalah fokus melakukan peningkatan restorasi di tujuh
daerah gambut, yang salah satunya adalah Provinsi Riau. Upaya yang dilakukan
tersebut tentu perlu pula mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat
yang ada di Riau.
Melakukan
restorasi terhadap area yang sebelumnya sudah cukup rusak, tentu bukan pula hal
yang mudah. Apalagi dalam hal ini, perlu adanya biaya besar yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun sulit belum tentu pula berarti tidak
mungkin, karena pada dasarnya hal yang sangat penting dalam upaya restorasi
gambut ini adalah kesadaran dari masyarakat diwilayah gambut itu sendiri.
Selain itu, upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan pendekatan
secara masiv terhadap beberapa konsesi yang memiliki wilayah kerja di area
gambut.
Mengubah
paradigma masyarakat untuk memperhatikan kawasan gambut akan cukup sulit,
ketika hanya berbicara tentang restorasi saja. Karena pola fikir masyarakat masih
tertuju pada keuntungan yang akan didapatkan jika melakukan sesuatu hal. Ini
merupakan tugas penting yang harus dilakukan, dengan mengubah pola fikir yang
ada menjadi keperdulian terhadap lestarinya alam disekitar mereka.
Sebuah ibarat
mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Artinya masih
sangat besar kemungkinan restorasi dapat dilakukan di area rawan terbakar,
selama ada dukungan dari semua unsur yang terkait didalamnya. Yang terpenting
adalah bagaimana mengembalikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar mau
ikut serta melakukan upaya restorasi tersebut. Sebab, dengan adanya dukungan
dari masyarakat tempatan, pemerintah juga dapat menjadikan kegiatan restorasi
sebagai sarana peningkatan ekonomi warga.
2. Rehabilitasi Paludy Culture dalam Restorasi
Berbicara
tentang upaya restorasi, akan banyak pilihan cara yang dapat dilakukan. Mulai
dari yang paling ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan
penyebab kebakaran lahan, penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan, sampai
idengan upaya paling damai melalui rehabilitasi kawasan eks karhutla. Namun
disini penulis akan lebih memfokuskan restorasi melalui kegiatan rehabilitasi melalui
penanaman secara paludy culture.
Sebelum
berbicara jauh tentang metode ini, tentunya kita harus faham terlebih dahulu tentang
apa itu paludy culture. Dalam pengertiannya, Paludy culture ini sendiri
merupakan jenis dari reboisasi tanaman. Namun, jika pada umumnya upaya
reboisasi menggunakan segala jenis tanaman, dalam parody culture tanaman yang
akan dikembalikan bersifat habitat asli dari kawasan yang akan di rehabilitasi
tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tanaman yang direhabilitasi benar-benar
tahan dengan segala kemungkinan yang menyebabkan tanaman tersebut mati atau
tidak dapat tumbuh dengan baik.
Tetap akan ada pertanyaan
mengapa tidak menanam kelapa sawit saja, apalagi saat ini perkebunan kelapa
sawit merupakan target utama masyarakat ketika mengelola lahan yang
dimilikinya. Untuk jenis tanaman yang satu ini, perlu diberikan pemahaman, jika
keberadaanya cukup banyak menghabiskan jumlah air di lahan gambut, sehingga
dapat menyebabkan area gambut rentan terbakar. Untuk itulah, sudah saatnya
menanam kelapa sawit di lahan gambut diminimalisir
Ket Foto: Membekali masyarakat tentang pengetahuan perbanyakan tanaman |
Pemilihan
tanaman dalam upaya rehabilitasi sangat penting untuk dipertimbangkan. Apalagi
pada kawasan yang memang merupakan hak warga masyarakat desa. Tentu masyarakat
akan enggan untuk melakukan rehabilitasi, jika pada akhirnya lahan yang mereka
miliki berakhir dengan kawasan yang tidak memiliki nilai ekonomis. Sebab,
biasanya keberadaan lahan tersebut merupakan sumber utama perekonomian
masyarakat.
Untuk hal ini,
keterlibatan pendampingan terhadap wilayah kawasan gambut sangat perlu
dilakukan. Karena dengan adanya pendampingan, masyarakat akan diberikan
pemahaman dan wawasan yang lebih luas tentang menjaga kestabilan kawasan
gambut. Selain itu, tentunya dengan adanya dampingan, masyarakat juga
mengetahui tentang tanaman yang baik dalam upaya rehabilitasi sekaligus sumber
ekonomi yang menguntungkan.
Adapun untuk
daerah gambut Riau, beberapa jenis tanaman yang bisa dikembangkan diantaranya
seperti kayu mahang, jelutung, sagu,
nenas, kopi, dan tanaman endemic hutan lainnya. Selain dapat melindungi lahan
gambut dari kerusakan dan kebakaran, tanaman tersebut sebenarnya juga
diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu peningkatan ekonomi masyarakat.
3. Tanaman
Kopi Dalam Angka
ket foto: kopi menjadi salah satu tanaman bernilai ekonomis diwilayah gambut. |
Untuk lebih
memfokuskan tentang upaya restorasi melalui paludyculture, disini penulis akan
membahas salah satu tanaman yang baik untuk dikembangkan di kawasan lahan
gambut, yaitu kopi. Memang pada awalnya kita akan berfikir, bagaimana kopi
dapat tumbuh didaerah gambut, karena sebagaimana kita lihat, untuk jenis kopi
arabika misalnya, biasanya petani melakukan penanaman didaerah dataran tinggi.
Setelah penulis
membaca beberapa refrensi, untuk jenis tanah bergambut, pilihan kopi yang dapat
dikembangkan adalah jenis liberika. Untuk saat ini saja, sudah ada beberapa daerah
di Provinsi Riau yang melakukan pengembangan perkebunan kopi jenis ini. Seperti
misalnya Kabupaten Indra Giri Hilir, Kabupaten Pelelawan, dan Kabupaten
Kepulauan Meranti.
ket foto: kopi siap dikemas (Illustrasi by google) |
Kopi Meranti,
beginilah biasanya orang menyebut salah satu jenis kopi liberika dari ujung
laut Provinsi Riau ini. Penjualan utamanya saat ini masih di ekspor ke Negara
Asia Tenggara, seperti Malaysia. Meskipun peminat dalam negri nya masih belum
terbilang maksimal, bukan tidak mungkin kopi jenis ini akan mendapatkan
perhatian dari warga penikmat kopi, ketika nantinya ada upaya pemasaran yang
baik.
Inilah tugas
penting yang sebenarnya tidak hanya menjadi tanggung jawab petani kopi saja,
namun juga menjadi kewajiban bagi pemerintah. Sebab, dengan adanya kemauan
masyarakat gambut untuk mengembangkan perkebunan kopi, akan membantu upaya
restorasi yang telah di gadang-gadang oleh pemerintah beberapa tahun
belakangan.
Untuk angka
ekonomis yang dapat dihasilkan dari hasil penjualan kopi jenis liberika
sendiri, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 s/d Rp. 100.000 untuk setiap
kemasannya. Artinya semakin baik kopi yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula
harga yang didapatkan petani kopi. Tentu hal ini juga berbanding lurus dengan
kemenarikan kemasan, dan juga tingkat distribusinya.
Saat ini, petani
kopi di Indonesia rata-rata baru menghasilkan sekitar 700 s/d 1000 Kg kopi
untuk setiap hektar nya pertahun. Artinya jika kita mengambil sampel harga kopi
Rp 30.000 untuk perkilonya, maka pendapatan yang dihasilkan oleh petani untuk
setahun berkisar di angka Rp. 21.000.000 s/d Rp 30.000.000 untuk setiap
hektarnya
Jumlah ini
sendiri sebetulnya masih belum terbilang maksimal, jika dibandingkan dengan
pendapatan petani kelapa sawit, hal ini dikarenakan petani kopi masih sekedar
menanam kopi saja. Sebenarnya selain menanam kopi, petani juga bisa
mengembangkan jenis tanaman lainnya di perkebunan kopi yang dimilikinya,
seperti misalnya sayur-sayuran, dan beberapa jenis tanaman holti kultura.
Mengingat untuk
memaksimalkan hasil yang dimiliki petani dalam setiap hektar kebun kopi, maka
tanaman kopi juga harus mendapatkan perhatian lebih, apalagi untuk beberapa
tahun pertama, sebelum kopi menghasilkan buah yang dapat dipetik oleh petani.
4.
Implementasi Perkebunan Kopi
Setelah membahas
mengenai nilai ekonomis yang mungkin didapatkan dengan mengembangkan perkebunan
kopi, maka yang seterusnya akan penulis coba jelaskan adalah tata cara
penanaman dan perawatan tanaman kopi. Dalam hal ini, yang pertama kali harus
dipersiapkan oleh petani adalah tanaman pelindung. Kopi merupakan tanaman yang
tidak bisa terkena sinar matahari secara langsung, sehingga perlu ada tanaman
untuk melindunginya.
Adapun beberapa
jenis tanaman pelindung yang biasa digunakan petani kopi pada umumnya seperti
sengon, pohon pinang, dan bisa juga pohon habitat daerah gambut seperti mahang
dan jelutung. Biasanya, untuk pertama kali menanam kopi, petani harus menunggu
pohon pelindung tumbuh tinggi. Ini bisa 2 sampai 4 tahun, sehingga pohon
pelindung benar-benar sudah mampu menyamarkan sinar matahari yang menyinari
bibit tanaman kopi.
Selain pohon
pelindung, lahan yang akan digunakan untuk menanam kopi sebaiknya juga bersih
dari tanaman pengganggu (gulma). Sebab, tanaman gulma yang tumbuh disekitar
pembibitan akan mengganggu pertumbuhan awal tanaman kopi.
Setelah itu, persiapkan
lubang untuk menanam bibit kopi, dengan lebar kurang lebih 70X70 cm. Sebaiknya
tanah yang akan digunakan sebagai lahan perkebunan kopi, dipadatkan, sekaligus
mengurangi tingkat keasaman tanah. Sedangkan untuk jarak, petani bisa mengatur
jarak 3 sampai dengan 4 meter untuk masing-masingnya. Namun perlu diperhatikan,
untuk lebih baik lubang yang akan ditanami kopi diisi terlebih dulu dengan
pupuk kompos atau organik.
Kegunaan pupuk
organic dalam pengelolaan perkebunan kopi sangat penting, karena pada dasarnya
pupuk organic akan lebih baik dalam hal mengurangi tingkat keasaman yang cukup
tinggi di area gambut. Hal ini perlu diperhatikan, apalagi jenis kopi liberika
sendiri biasanya memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi pula dibandingkan
dengan kopi jenis arabika dan robusta.
Tanaman Kopi sendiri
sebenarnya cukup rentan terkena hama dan juga penyakit, sehingga agar dapat
memaksimalkan hasil yang didaptkan, sebaiknya petani kopi harus rajin melakukan
pengecekan. Jika memang tanaman terserang hama atau penyakit, maka dapat
diantisipasi sedini mungkin. Beberapa hama yang sering menyerang tanaman kopi
adalah hama kutu, bubuk batang kopi, dan kerat daun. Untuk masing-masingnya
juga memiliki penyelesaian yang berbeda pula.
Adapun setelah mendapatkan perawatan yang
baik, petani harus menunggu antara 2 sampai 3 tahun untuk pertama kali panen.
Namun jumlah panen maksimal biasanya baru akan didapatkan oleh petani pada
tahun ke 7 sampai 9.