07 Maret 2019

“Menggali Potensi Alam dan Masyarakat Melalui Pendampingan”



Oleh: Idris Parubahan Pasaribu, S.IKom

1. Karhutla Gambut Riau dalam Angka


Ket Foto: Kawasan gambut yang selalu identik dengan air berwarna hitam kecoklatan



Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah luasan lahan gambut terbanyak  di Pulau Sumatera. Hal ini Berdasarkan informasi yang dirilis Indonesian National  Carbon Accounting Sistem (INCAS). Dalam data yang disampaikannya, Riau memiliki luas wilayah kurang lebih 8,7 juta hektare, dengan 3,9 juta hektare diantaranya merupakan daerah gambut. Artinya hampir setengah wilayah negri melayu ini merupakan area yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan, baik itu rawan terbakar, maupun kerusakan lahan akibat tingginya permintaan perluasan kawasan perkebunan di Riau.
Pada tahun 2014-2015 lalu misalnya, Provinsi Riau menjadi salah satu daerah penyumbang asap terparah untuk pulau sumatera selain Jambi dan Palembang. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) terjadi hampir diseluruh area gambut yang tersebar di kabupaten/kota yang ada di Riau, dengan kisaran luasan mencapai 174 ribu hektar. Bahkan dalam rilis berita yang diterbitkan oleh kompas pada tanggal 15 Oktober 2015 lalu, dari 12.541 titik panas yang ada diseluruh tanah air, 93,6 persen nya merupakan lahan gambut Riau dalam kurun waktu 2 Januari-13 Maret 2014.
Sedangkan pada tahun 2016 periode Januari sampai dengan juli, BPBD Provinsi Riau mencatat setidaknya ada sekitar 1400 hektare lahan kembali terbakar di Riau. Meskipun jumlah ini di klaim mengalami penurunan dari dua tahun sebelumnya, namun pada kenyataanya masih cukup luas untuk sebuah provinsi yang telah masuk dalam daerah siaga karlahut.
Tentunya ini cukup berdampak buruk baik itu secara kesehatan masyarakat, maupun perekonomian. Hal ini terbukti dengan tingginya pasien penderita Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) saat itu. Tidak hanya kesehatan saja, dampak karhutla juga terkait kerusakan ekosistem yang ada diwilayah gambut tersebut. Apalagi kita tahu, beberapa wilayah gambut di Riau merupakan habitat hewan yang langka, seperti misalnya Harimau Sumatera, trenggiling, beberapa jenis burung dan juga Tapir.
Namun, jika berbicara tentang kerusakan lahan gambut, imbasnya tentu tidak hanya sebatas wilayah Riau saja. Karena dalam kenyataan, rusaknya area gambut sendiri dapat berakibat terhadap tingginya sumbangan emisi karbon dan emisi rumah kaca, yang berbahaya bagi udara di Riau, dan juga Indonesia pada umumnya. Sehingga perlu dilakukan banyak regulasi, agar hal ini tidak berlanjut untuk seterusnya.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya saat ini telah membentuk sebuah badan, yang memiliki nama Badan Restorasi Gambut (BRG). Yang mana salah satu tujuan dibentuknya badan ini adalah fokus melakukan peningkatan restorasi di tujuh daerah gambut, yang salah satunya adalah Provinsi Riau. Upaya yang dilakukan tersebut tentu perlu pula mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat yang ada di Riau.
Melakukan restorasi terhadap area yang sebelumnya sudah cukup rusak, tentu bukan pula hal yang mudah. Apalagi dalam hal ini, perlu adanya biaya besar yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun sulit belum tentu pula berarti tidak mungkin, karena pada dasarnya hal yang sangat penting dalam upaya restorasi gambut ini adalah kesadaran dari masyarakat diwilayah gambut itu sendiri. Selain itu, upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan pendekatan secara masiv terhadap beberapa konsesi yang memiliki wilayah kerja di area gambut.
Mengubah paradigma masyarakat untuk memperhatikan kawasan gambut akan cukup sulit, ketika hanya berbicara tentang restorasi saja. Karena pola fikir masyarakat masih tertuju pada keuntungan yang akan didapatkan jika melakukan sesuatu hal. Ini merupakan tugas penting yang harus dilakukan, dengan mengubah pola fikir yang ada menjadi keperdulian terhadap lestarinya alam disekitar mereka.
Sebuah ibarat mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Artinya masih sangat besar kemungkinan restorasi dapat dilakukan di area rawan terbakar, selama ada dukungan dari semua unsur yang terkait didalamnya. Yang terpenting adalah bagaimana mengembalikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar mau ikut serta melakukan upaya restorasi tersebut. Sebab, dengan adanya dukungan dari masyarakat tempatan, pemerintah juga dapat menjadikan kegiatan restorasi sebagai sarana peningkatan ekonomi warga.
2.  Pendampingan Bukan Untuk Menggurui
Berbicara tentang upaya restorasi, akan banyak pilihan cara yang dapat dilakukan. Mulai dari yang paling ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan penyebab kebakaran lahan, penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan, sampai idengan upaya paling damai melalui rehabilitasi kawasan eks karhutla. Namun disini penulis akan lebih memfokuskan restorasi melalui pendampingan desa sebagaimana yang telah di programkan oleh pemerintah pusat melalui Badan Restorasi Gambut (BRG).
Masyarakat Riau pada umumnya tentu sudah tidak asing mendengar tentang pendampingan desa sejak beberapa tahun belakangan. Hal ini terkait dengan cukup tingginya kasus kebakaran lahan dan hutan (KARHUTLA) di negri berkontur tanah gambut ini.  Banyak pendampingan yang diterima oleh desa baik itu yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang konservasi lingkungan.
Beberapa pendampingan yang dilakukan tersebut diantaranya berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat, pemanfaatan hasil gambut, rehabilitasi kawasan eks karhutla, sampai dengan pelatihan bagi anggota Masyarakat Peduli Api (MPA). Namun, pada kenyataanya, kebanyakan kegiatan pendampingan yang ada selama ini terlalu fokus menjalankan list program kerja yang telah dimiliki oleh lembaga yang melakukan kegiatan konservasi tersebut, tanpa melihat bagaiaman keinginan dari masyarakat desa. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya pola fikir masyarakat untuk menjadikan program kegiatan sebagai pencarian keuntungan secara pribadi.
Dengan sistem yang berjalan ini, tentunya hasil yang didapatkan hanya akan terputus saat pelaksanaan program selesai. Artinya masyarakat desa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) setelah projek selesai. Tentunya hal inilah yang perlu menjadi bahan pertimbangan sebagaima tujuan awal dari sebuah pendampingan masyarakat.
Pada dasarnya, pendampingan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Artinya dengan adanya pendampingan, masyarakat akan dituntut untuk dapat berfikir lebih maju, sehingga mampu memanfaatkan segala macam SDA dan SDM yang ada diwilayahnya masing-masing. Dengan semakin majunya pola fikir masyarakat tersebut, tentu akan berimbas pula terhadap kelestarian lingkungan, serta peningkatan ekonomi masyarakat.
Untuk pencapaian hal itu, ada beberapa skema yang harus disusun secara rapi agar tujuan pemberdayaan ini dapat berjalan maksimal. Mulai dari penyamaan persepsi dengan masyarakat yang akan didampingi, sampai dengan penciptaan inovasi baru disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Perlu diketahui, hal mendasar yang paling sulit untuk melakukan pendampingan adalah penyamaan persepsi dengan masyarakat. Hal ini mengingat tingkat pendidikan, keberagaman suku dan agama, serta kepercayaan yang telah dimiliki oleh masyarakat desa berbeda dengan calon pendamping yang akan ditempatkan di desa.
Lalu bagaimana sebenarnya cara menyamakan persepsi antara orang yang bukan merupakan warga desa (pendamping) dengan masyarakat desa?. Lagi-lagi kita sebenarnya harus memahami betul maksud dari adanya pendampingan desa yang dilakukan oleh BRG. Adanya pendampingan BRG dimaksudkan untuk menggali sebanyak mungkin tentang potensi desa yang menjadi wilayah intervensi program. Mulai dari potensi peningkatan ekonomi disesuaikan dengan kearifan lokal, hingga peningkatan SDM dalam mengelola SDA yang ada diwilayahnya masing-masing.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang pendamping desa adalah melakukan pemetaan wilayah desa. Meskipun maksud pemetaan disini bukanlah membuat peta desa, namun pendamping harus mengetahui terlebih dulu batas wilayah desa yang menjadi wilayah dampingan. Tujuan dari pemetaan wilayah ini sendiri adalah untuk mengetahui secara pasti lokasi pekerjaan yang akan dilakukan selama masa pendampingan nantinya. Artinya pendamping tidak lagi melulu bertanya tentang sampai dimana wilayah kerja nya kepada aparatur pemerintahan desa.
Setelah pendamping mengetahui tentang wilayah desa, hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah memetakan tokoh berdasarkan kelompok. Misalnya keberagaman suku, agama, tingkat pendidikan, sampai dengan tingkat perekonomian masyarakat di desa dampingan tersebut. Adapun tujuan pemetaan tokoh ini dilakukan untuk melihat bagaimana karakteristik masyarakat, sehingga akan memudahkan nantinya melakukan pendekatan saat melaksanakan kegiatan pendampingan. Tentulah dengan latar belakang yang berbeda, akan berbeda pula cara berfikirnya dalam menanggapi sebuah masukan yang diterima dari orang luar desa.
Jika kedua hal penting diatas telah didapatkan oleh pendamping, maka secara perlahan pendekatan sudah dapat dilakukan langsung kepada masyarakat. Barulah kita sebagai pendamping akan masuk dalam pencarian informasi terkait kebutuhan yang diinginkan masyarakat dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh BRG ini. Sekali lagi disini kita tidak langsung menawarkan program yang kita inginkan, namun lebih kepada sharing mengenai apa sebenarnya potensi desa yang dapat dikembangkan, jika diselaraskan dengan program kerja yang dimiliki oleh BRG.
Pada beberapa desa yang telah menjadi dampingan BRG, peningkatan ekonomi desa yang dilakukan diantaranya seperti pembuatan demplot pertanian. Tentu nya hal ini cukup baik, karena dapat memancing inisiatif masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan pertanian, sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki desa nya. Selain itu, pembuatan demplot pertanian ini dapat pula menjadi acuan bagi masyarakat lainnya jika memang berhasil dalam melakukan pengembangan. Disini pendamping dan masyarakat hanya perlu menentukan jenis tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di demplot yang dibangun tersebut.
Berdasarkan pengalaman pendampingan yang telah dilakukan oleh penulis di beberapa desa gambut sebelumnya, jenis tanaman pertanian yang cocok dan paling banyak ditanam adalah jenis tanaman lunak diantaranya seperti cabai rawit, bawang merah, dan juga nenas. Pemilihan tanaman ini bukan tidak memiliki alasan, selain ketahanan tanaman dengan tingkat keasaman tanah gambut yang cukup tinggi, namun potensi hasil yang akan didapatkan oleh masyarakat juga cukup menjanjikan, karena memang potensi kegagalan panen jenis tanaman ini cukup minim sekali. Namun tentunya untuk tingkat keberhasilan yang tinggi, harus pula dilakukan dengan pendampingan oleh orang yang ahli dalam bidang pertanian.
Tidak hanya berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat saja, pendampingan oleh BRG ini sendiri juga bertujuan untuk melakukan pencegahan kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Untuk tujuan yang satu ini pendekatan dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi dengan Masyarakat Peduli Api (MPA) maupun kelompok lain yang sejenis yang dimiliki oleh desa. Disini pendamping dapat meminta data kasus kebakaran yang pernah terjadi di desa, cara penangan yang dilakukan, jenis peralatan yang digunakan untuk pemadaman serta melihat secara langsung titik kebakaran yang terjadi tersebut.
Untuk diketahui, dalam beberapa waktu belakangan, sebagian besar daerah yang terjadi kasus kebakaran lahan di Riau biasanya merupakan lahan tidur, dan juga lahan yang tidak pernah disentuh oleh pemiliknya. Disini kita sebagai pendamping dapat melihat potensi yang dapat dilakukan pada lahan tersebut, tentunya dengan izin si empunya lahan. Jika memang memungkinkan, sebenarnya lahan tidur tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lokasi demplot pertanian sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Setelah beberapa prosedur pendampingan diatas dilakukan oleh pendamping lapangan, maka tujuan dari kegiatan yang dicanangkan oleh BRG dapat terealisasi dengan baik. Artinya paradigma masyarakat tentang proyek terhadap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga penggiat lingkungan, dapat bergeser menjadi niat untuk mengembangkan potensi desa. Kita sebagai pendamping pun tidak lagi hanya menjalankan apa yang menjadi keinginan perorangan, namun lebih memfokuskan kegiatan pada kesepakatan bersama dengan seluruh elemen masyarakat yang ada di desa.




Tidak ada komentar:

CONTOH LAPORAN PEMBANGUNAN DEMPLOT AGROFORESTRY

                                                                                                                                            ...