Oleh: Idris Parubahan Pasaribu,
S.IKom
1.
Karhutla Gambut Riau dalam Angka
Provinsi Riau
merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah luasan lahan gambut
terbanyak di Pulau Sumatera. Hal ini
Berdasarkan informasi yang dirilis Indonesian National Carbon Accounting Sistem (INCAS). Dalam data yang
disampaikannya, Riau memiliki luas wilayah kurang lebih 8,7 juta hektare,
dengan 3,9 juta hektare diantaranya merupakan daerah gambut. Artinya hampir setengah
wilayah negri melayu ini merupakan area yang sangat rentan terhadap kerusakan
lingkungan, baik itu rawan terbakar, maupun kerusakan lahan akibat tingginya
permintaan perluasan kawasan perkebunan di Riau.
Pada tahun
2014-2015 lalu misalnya, Provinsi Riau menjadi salah satu daerah penyumbang
asap terparah
untuk pulau sumatera selain Jambi dan Palembang. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla)
terjadi hampir diseluruh area gambut yang tersebar di kabupaten/kota yang ada
di Riau, dengan kisaran luasan
mencapai 174 ribu hektar. Bahkan dalam rilis berita yang diterbitkan oleh kompas pada
tanggal 15 Oktober 2015 lalu, dari 12.541 titik panas yang ada diseluruh tanah
air, 93,6 persen nya merupakan lahan gambut Riau dalam kurun waktu 2 Januari-13
Maret 2014.
Sedangkan pada tahun 2016 periode Januari sampai dengan juli, BPBD Provinsi
Riau mencatat setidaknya ada sekitar 1400 hektare lahan kembali terbakar di
Riau. Meskipun jumlah ini di klaim mengalami penurunan dari dua tahun
sebelumnya, namun pada kenyataanya masih cukup luas untuk sebuah provinsi yang
telah masuk dalam daerah siaga karlahut.
Tentunya ini
cukup berdampak buruk baik itu secara kesehatan masyarakat, maupun perekonomian. Hal
ini terbukti dengan tingginya pasien penderita Inspeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) saat itu. Tidak hanya kesehatan saja, dampak karhutla juga terkait
kerusakan ekosistem yang ada diwilayah gambut tersebut. Apalagi kita tahu,
beberapa wilayah gambut di Riau merupakan habitat hewan yang langka, seperti
misalnya Harimau Sumatera, trenggiling, beberapa jenis burung dan juga Tapir.
Namun, jika
berbicara tentang kerusakan lahan gambut, imbasnya tentu tidak hanya sebatas wilayah Riau
saja. Karena dalam kenyataan, rusaknya area gambut sendiri dapat berakibat
terhadap tingginya sumbangan emisi karbon dan emisi rumah kaca, yang berbahaya bagi udara di
Riau, dan juga Indonesia pada umumnya. Sehingga perlu dilakukan banyak
regulasi, agar hal ini tidak berlanjut untuk seterusnya.
Pemerintah
Indonesia sendiri sebenarnya saat ini telah membentuk sebuah badan, yang
memiliki nama Badan Restorasi Gambut (BRG). Yang mana salah satu tujuan
dibentuknya badan ini adalah fokus melakukan peningkatan restorasi di tujuh
daerah gambut, yang salah satunya adalah Provinsi Riau. Upaya yang dilakukan
tersebut tentu perlu pula mendapatkan dukungan dari seluruh elemen masyarakat
yang ada di Riau.
Melakukan
restorasi terhadap area yang sebelumnya sudah cukup rusak, tentu bukan pula hal
yang mudah. Apalagi dalam hal ini, perlu adanya biaya besar yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Namun sulit belum tentu pula berarti tidak
mungkin, karena pada dasarnya hal yang sangat penting dalam upaya restorasi
gambut ini adalah kesadaran dari masyarakat diwilayah gambut itu sendiri.
Selain itu, upaya yang harus dilakukan selanjutnya adalah dengan melakukan
pendekatan secara masiv terhadap beberapa konsesi yang memiliki wilayah kerja
di area gambut.
Mengubah
paradigma masyarakat untuk memperhatikan kawasan gambut akan cukup sulit,
ketika hanya berbicara tentang restorasi saja. Karena pola fikir masyarakat
masih tertuju pada keuntungan yang akan didapatkan jika melakukan sesuatu hal.
Ini merupakan tugas penting yang harus dilakukan, dengan mengubah pola fikir
yang ada menjadi keperdulian terhadap lestarinya alam disekitar mereka.
Sebuah ibarat
mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Artinya masih
sangat besar kemungkinan restorasi dapat dilakukan di area rawan terbakar,
selama ada dukungan dari semua unsur yang terkait didalamnya. Yang terpenting
adalah bagaimana mengembalikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat, agar mau
ikut serta melakukan upaya restorasi tersebut. Sebab, dengan adanya dukungan
dari masyarakat tempatan, pemerintah juga dapat menjadikan kegiatan restorasi
sebagai sarana peningkatan ekonomi warga.
2. Pendampingan
Bukan Untuk Menggurui
Berbicara
tentang upaya restorasi, akan banyak pilihan cara yang dapat dilakukan. Mulai
dari yang paling ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja dengan perusahaan
penyebab kebakaran lahan, penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan, sampai
idengan upaya paling damai melalui rehabilitasi kawasan eks karhutla. Namun disini
penulis akan lebih memfokuskan restorasi melalui pendampingan desa
sebagaimana yang telah di programkan oleh pemerintah pusat melalui Badan
Restorasi Gambut (BRG).
Masyarakat Riau pada umumnya tentu sudah tidak asing mendengar tentang
pendampingan desa sejak beberapa tahun belakangan. Hal ini terkait dengan cukup
tingginya kasus kebakaran lahan dan hutan (KARHUTLA) di negri berkontur tanah
gambut ini. Banyak pendampingan yang
diterima oleh desa baik itu yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang konservasi lingkungan.
Beberapa pendampingan yang dilakukan tersebut diantaranya berkaitan dengan
peningkatan ekonomi masyarakat, pemanfaatan hasil gambut, rehabilitasi kawasan
eks karhutla, sampai dengan pelatihan bagi anggota Masyarakat Peduli Api (MPA).
Namun, pada kenyataanya, kebanyakan kegiatan pendampingan yang ada selama ini
terlalu fokus menjalankan list program kerja yang telah dimiliki oleh lembaga
yang melakukan kegiatan konservasi tersebut, tanpa melihat bagaiaman keinginan
dari masyarakat desa. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya pola fikir
masyarakat untuk menjadikan program kegiatan sebagai pencarian keuntungan
secara pribadi.
Dengan sistem yang berjalan ini, tentunya hasil yang didapatkan hanya akan terputus
saat pelaksanaan program selesai. Artinya masyarakat desa tidak memiliki
kemampuan untuk mengelola sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM)
setelah projek selesai. Tentunya hal inilah yang perlu menjadi bahan pertimbangan
sebagaima tujuan awal dari sebuah pendampingan masyarakat.
Pada dasarnya, pendampingan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan
kegiatan pemberdayaan masyarakat. Artinya dengan adanya pendampingan,
masyarakat akan dituntut untuk dapat berfikir lebih maju, sehingga mampu
memanfaatkan segala macam SDA dan SDM yang ada diwilayahnya masing-masing.
Dengan semakin majunya pola fikir masyarakat tersebut, tentu akan berimbas pula
terhadap kelestarian lingkungan, serta peningkatan ekonomi masyarakat.
Untuk pencapaian hal itu, ada beberapa skema yang harus disusun secara rapi
agar tujuan pemberdayaan ini dapat berjalan maksimal. Mulai dari penyamaan
persepsi dengan masyarakat yang akan didampingi, sampai dengan penciptaan
inovasi baru disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan. Perlu diketahui,
hal mendasar yang paling sulit untuk melakukan pendampingan adalah penyamaan
persepsi dengan masyarakat. Hal ini mengingat tingkat pendidikan, keberagaman
suku dan agama, serta kepercayaan yang telah dimiliki oleh masyarakat desa
berbeda dengan calon pendamping yang akan ditempatkan di desa.
Lalu bagaimana sebenarnya cara menyamakan persepsi antara orang yang bukan
merupakan warga desa (pendamping) dengan masyarakat desa?. Lagi-lagi kita
sebenarnya harus memahami betul maksud dari adanya pendampingan desa yang
dilakukan oleh BRG. Adanya pendampingan BRG dimaksudkan untuk menggali sebanyak
mungkin tentang potensi desa yang menjadi wilayah intervensi program. Mulai
dari potensi peningkatan ekonomi disesuaikan dengan kearifan lokal, hingga
peningkatan SDM dalam mengelola SDA yang ada diwilayahnya masing-masing.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang pendamping desa adalah
melakukan pemetaan wilayah desa. Meskipun maksud pemetaan disini bukanlah
membuat peta desa, namun pendamping harus mengetahui terlebih dulu batas
wilayah desa yang menjadi wilayah dampingan. Tujuan dari pemetaan wilayah ini
sendiri adalah untuk mengetahui secara pasti lokasi pekerjaan yang akan
dilakukan selama masa pendampingan nantinya. Artinya pendamping tidak lagi
melulu bertanya tentang sampai dimana wilayah kerja nya kepada aparatur
pemerintahan desa.
Setelah pendamping mengetahui tentang wilayah desa, hal berikutnya yang
perlu dilakukan adalah memetakan tokoh berdasarkan kelompok. Misalnya
keberagaman suku, agama, tingkat pendidikan, sampai dengan tingkat perekonomian
masyarakat di desa dampingan tersebut. Adapun tujuan pemetaan tokoh ini
dilakukan untuk melihat bagaimana karakteristik masyarakat, sehingga akan
memudahkan nantinya melakukan pendekatan saat melaksanakan kegiatan
pendampingan. Tentulah dengan latar belakang yang berbeda, akan berbeda pula
cara berfikirnya dalam menanggapi sebuah masukan yang diterima dari orang luar
desa.
Jika kedua hal penting diatas telah didapatkan oleh pendamping, maka secara
perlahan pendekatan sudah dapat dilakukan langsung kepada masyarakat. Barulah
kita sebagai pendamping akan masuk dalam pencarian informasi terkait kebutuhan
yang diinginkan masyarakat dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh BRG
ini. Sekali lagi disini kita tidak langsung menawarkan program yang kita
inginkan, namun lebih kepada sharing mengenai apa sebenarnya potensi desa yang
dapat dikembangkan, jika diselaraskan dengan program kerja yang dimiliki oleh
BRG.
Pada beberapa desa yang telah menjadi dampingan BRG, peningkatan ekonomi
desa yang dilakukan diantaranya seperti pembuatan demplot pertanian. Tentu nya
hal ini cukup baik, karena dapat memancing inisiatif masyarakat untuk kembali
melakukan kegiatan pertanian, sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki desa
nya. Selain itu, pembuatan demplot pertanian ini dapat pula menjadi acuan bagi
masyarakat lainnya jika memang berhasil dalam melakukan pengembangan. Disini
pendamping dan masyarakat hanya perlu menentukan jenis tanaman apa yang paling
cocok untuk ditanam di demplot yang dibangun tersebut.
Berdasarkan pengalaman pendampingan yang telah dilakukan oleh penulis di
beberapa desa gambut sebelumnya, jenis tanaman pertanian yang cocok dan paling
banyak ditanam adalah jenis tanaman lunak diantaranya seperti cabai rawit,
bawang merah, dan juga nenas. Pemilihan tanaman ini bukan tidak memiliki
alasan, selain ketahanan tanaman dengan tingkat keasaman tanah gambut yang
cukup tinggi, namun potensi hasil yang akan didapatkan oleh masyarakat juga
cukup menjanjikan, karena memang potensi kegagalan panen jenis tanaman ini
cukup minim sekali. Namun tentunya untuk tingkat keberhasilan yang tinggi,
harus pula dilakukan dengan pendampingan oleh orang yang ahli dalam bidang
pertanian.
Tidak hanya berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat saja,
pendampingan oleh BRG ini sendiri juga bertujuan untuk melakukan pencegahan
kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Untuk tujuan yang satu ini
pendekatan dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi dengan Masyarakat Peduli
Api (MPA) maupun kelompok lain yang sejenis yang dimiliki oleh desa. Disini
pendamping dapat meminta data kasus kebakaran yang pernah terjadi di desa, cara
penangan yang dilakukan, jenis peralatan yang digunakan untuk pemadaman serta
melihat secara langsung titik kebakaran yang terjadi tersebut.
Untuk diketahui, dalam beberapa waktu belakangan, sebagian besar daerah
yang terjadi kasus kebakaran lahan di Riau biasanya merupakan lahan tidur, dan
juga lahan yang tidak pernah disentuh oleh pemiliknya. Disini kita sebagai
pendamping dapat melihat potensi yang dapat dilakukan pada lahan tersebut,
tentunya dengan izin si empunya lahan. Jika memang memungkinkan, sebenarnya
lahan tidur tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lokasi demplot pertanian
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Setelah beberapa prosedur pendampingan diatas dilakukan oleh pendamping
lapangan, maka tujuan dari kegiatan yang dicanangkan oleh BRG dapat terealisasi
dengan baik. Artinya paradigma masyarakat tentang proyek terhadap kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga penggiat lingkungan, dapat bergeser menjadi niat untuk
mengembangkan potensi desa. Kita sebagai pendamping pun tidak lagi hanya
menjalankan apa yang menjadi keinginan perorangan, namun lebih memfokuskan
kegiatan pada kesepakatan bersama dengan seluruh elemen masyarakat yang ada di
desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar