Oleh: Khaidir Air
“kami
tu tepakso melaot, tak ado kejo lain”. Kata-kata dari nelayan tersebut terus
menerus ber-onani didalam pikiran penulis. Apa yang bisa penulis bantu untuk
menyelesaikan masalah ini. Betapa tidak, dengan laut yang luas terbentang yang
didalamnya terdapat berbagai macam sumberdaya ikan tetapi ternyata masih ada
masyarakat kita yang menangis saat melihat daratan ketika pulang dari melaut. Bagaimana
dengan jajan sekolah anak besok, apakah masih bisa ngutang beras dikedai hari
ini, apakah…apakah..apakah, begitu banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang
timbul menjelang perahu sang nelayan tiba di tepi pantai. Tatapan yang jauh
terkadang tidak menyadarkannya bahwa mereka telah sampai ke bibir pantai.
Seperti tak ingin pulang kerumah. Kepada siapa harus mengadu atas kondisi
perekonomian yang mereka rasakan sekarang ini. “besar pasak dari pada tiang”,
begitulah kenyataan yang dirasakan oleh nelayan yang berada di daerah bengkalis
khususnya yang berada di selat bengkalis.
Hasil yang didapatkan tidak sesuai
dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Hal ini tak lain dan tak bukan karena
semakin berkurangnya hasil tangkapan, masalah ekonomi yang dalam hal ini adalah
terkadang alat dan armada yang dalam keadaan tidak ready, regulasi-regulasi
pemerintah yang tidak memihak kepada kondisi masyarakat saat ini, konflik antar
alat tangkap yang digunakan seiring tidak adanya pengawasan dan ketegasan pihak
terkait serta runtuhnya kearifan lokal yang dahulu pernah ada. Tulisan ini
semoga menjadi jembatan kepada kita semua untuk mengetahui bahwa begitu
kompleks permasalahan yang dihadapi oleh mereka (nelayan).
Untuk
itu penulis mencoba membahasnya satu persatu agar kita semua paham terus sadar
dan timbul rasa peduli. Baiklah, penulis akan mencoba paparkan beberapa
permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas.
Penyebab Berkurangnya Hasil Tangkapan Ekologi
Berbicara masalah ikan tentunya tidak terlepas pada lingkungannya yaitu air. Lingkungan perairan
khususnya di wilayah pesisir terdapat berbagai ekosistem seperti mangrove,
lamun dan terumbu karang. Dengan kondisi perairan selat bengkalis yang berada
di daerah semi tertutup dan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi menyebabkan
ekosistem yang dominan terdapat di wilayah ini adalah ekosistem mangrove, walaupun
terkadang masih di jumpai terdapatnya lamun dan karang (jenis ahermatypic).
Ket Foto:Keberadaan hutan mangrove menjadi salah satu ekosistem yang diperlukan oleh ikan |
Dalam
ekosistem mangrove terdapat berbagai jenis mahluk hidup yang memiliki habitat
dan relung ekologi. Berbagai jenis mahluk hidup tersebut hidup bersama dan
saling berinteraksi. Nah, didalam ekosistem tersebut terjadi rantai makanan
yaitu suatu jejaring makanan dan interaksi mangsa dan dimangsa dari produsen ke
herbivore kemudian ke karnivor yang ahirnya kembali lagi ke pengurai (proses biogeokimia).
Jadi
kesimpulannya, karena berawal dari rusaknya hutan mangrove menyebabkan proses
biogeokimia terganggu sehingga fungsi mangrove seperti tempat mencari makan
(feeding ground), daerah pengasuhan (nursery ground) dan memijah (spawning
ground) terganggu. Akibat terganggunya system tersebut maka terjadi dua
kemungkinan; pertama adalah berpindahnya berbagai biota terutama ikan (ruaya)
ke tempat yang aman dan kedua adalah mati karena ketersediaan makanan habis.
Dengan demikian tidak mengherankan apabila populasi biota yang terdapat di
ekosistem ini terutama ikan menjadi menurun.
Selanjutnya yang menjadi penyebab
berkurangnya hasil tangkapan adalah akibat aktifitas langsung masyarakat
terutama nelayan. Konversi lahan pesisir yang awalnya adalah hutan mangrove
memberikan dampak negative seperti yang telah disebutkan diatas. Selain itu
pengerusakan akibat aktifitas penangkapan yang bersifat destruktif (merusak)
telah dari dahulu dilakukan namun pada saat sekarang menimbulkan dampaknya.
Alat tangkap destruktif yang dimaksud adalah langgai/langgen (bahasa setempat).
Pengoperasian alat tangkap ini adalah didorong dengan perahu motor dimana alat
tangkap tersebut jejak sampai dasar perairan. Biasanya alat tangkap tersebut
dioperasikan di daerah tepi pantai. Dengan kondisi demikian menyebabkan habitat
dasar perairan seperti karang (ahermatypic) hancur dan musnah. Penangkapan
biota dasar seperti ini telah dilakukan sejak dahulu, dari satu pantai ke
pantai yang lain sepanjang pesisir selat bengkalis. Bagaimana tidak, kalau
karang tersebut akan habis karena tidak diberi waktu untuk pulih dan
mengembalikan komunitasnya kembali (resiliensi). Ini adalah salah satu faktor
yang sangat penting namun tidak diketahui oleh masyarakat. “kemalah ikan harus
berteduh dan mengadu nasib lagi”.
Selanjutnya setelah diakibatkan oleh konversi
hutan mangrove, aktifitas penangkapan oleh langgai/langgen, kini ada lagi
penyebabnya yaitu pencemaran. Meskipun pencemaran yang terjadi masih dalam
kategori terkontaminasi namun menjadi pendukung rusaknya ekosistem sehingga berkurangnya
populasi ikan. Sampai saat sekarang masih ditemukan nelayan yang menangkap ikan
dengan menggunakan racun potas. Tidak hanya biota target yang terkena dampak
negatifnya namun juga lingkungannya sehingga biota lain yang pemakan serasah dan
tumbuhan lain ikut merasakan dampaknya sehingga jika dalam konsentrasi racun
yang tinggi dapat mengakibatkan kematian. Dengan demikian tentunya terjadi
ketimpangan di dalam system. Selain oleh racun potas, juga terjadi pencemaran
yang diakibatkan oleh air ballas tanker dan semakin banyaknya jumlah kapal
motor yang ada, limbah pemukiman, limbah industry dan juga runoff dari daratan.
Armada
dan Alat Tangkap yang Tidak Ready
Ket Foto: Armada kapal untuk penangkap ikan (Illustrasi foto by google) |
Dalam bab ini penulis mencoba memaparkan
bagaimana kondisi nelayan kecil yang terdapat di rupat utara kabupaten
bengkalis. Rata-rata nelayan kecil yang ada di rupat utara melaut menggunakan
perahu motor jenis speed boat. Yang selalu menjadi permasalahan disini adalah
ketika usia mesin boat tersebut sudah tua disertai alat tangkap yang telah
rusak. Alat-alat onderdil mesin ini termasuk barang mahal bagi nelayan
setempat. Untuk mengganti dan memperbaikinya minimal harus memiliki hasil
tangkapan 1 sampai 2 hari. Masalahnya, pekerjaan sebagai nelayan adalah
pekerjaan mencari barang gaib, tidak terlihat. Terkadang hanya untuk kebutuhan
sehari-hari saja tidak tercukupi, apalagi untuk mengganti atau memperbaiki
mesin dan alat tangkap. Solusinya adalah tetap melaut dengan kondisi armada dan
alat tangkap yang sakit. Ada kadang tidak dapat sama sekali ikan ekonomis yang
bisa dijual. Apakah melaut tidak memerlukan minyak dan lain-lain?. Begitulah
kompleksnya permasalahan yang dihadapi para nelayan tersebut.
Mungkin bagi nelayan yang memiliki penghasila
n lain selain dari melaut tidak begitu susah karena mereka tidak perlu
menghutang keperluan dapur dan dalam hal memperbaiki mesin dan alat tangkap.
Kesimpulannya adalah, selain memang
dikarenakan populasi ikan yang sudah semakin berkurang juga disebabkan oleh
tidak optimalnya armada dan alat tangkap yang digunakan. Sehingga tidak salah
kalau nelayan kecil selalu berada dalam himpitan ekonomi.
Regulasi
Pemerintah dan Kearifan Lokal mengenai terubuk
Semenjak keluarnya keputusan menteri kelautan
dan perikanan republic Indonesia no 59 tahun 2011 tentang penetapan status
perlindungan terbatas jenis ikan terubuk (tenualosa macrura) menyebabkan
permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan yang berada di selat bengkalis
semakin serius. Adapun hasil keputusan tersebut menyebutkan bahwa ikan terubuk
yang masuk ke perairan selat bengkalis pada saat bulan terang di bulan agustus
sampai November setiap tanggal 13, 14, 15 dan 16 dan pada bulan gelap di bulan
agustus sampai November setiap tanggal 28, 29, 30 dan 1 kalender hijriah
dilarang melakukan penangkapan.
Penulis mencoba menuangkan pemikiran terhadap
kondisi ini. Secara ekologi, peraturan menteri tersebut memang sangat penting
mengingat ikan terubuk merupakan ikan endemic yang terdapat di selat bengkalis
dengan kondisi yang terancam punah. Kepunahan tersebut dikarenakan hubungan
antara siklus hidup dan penangkapan. Ikan terubuk masuk ke perairan bengkalis
hanya pada saat akan memijah. Setelah memijah mereka akan kembali ke selat
malaka dan lautan luas. Disisi lain, dikarenakan memang budaya masyarakat
adalah melaut maka memang dari hasil itulah mereka menggantungkan hidup. Hampir
setiap hari mereka menjaring ikan.
Dari sini tentunya pembaca langsung dapat memvonis
bahwa hal ini akan menjadi masalah. Masalah antara kepentingan dan kebutuhan.
Satu sisi penyelamatan harus dilakukan dan disisi lain, dapur harus berasap.
Nelayan berani mati apabila sudah menjadi urusan perut.
Disini saya tidak berpihak kepada siapapun
karena saya akan menginvestigasi lebih lanjut tentang permasalahan ini, Cuma
saat ini saya hanya mengutarakan kesimpulan awal sejauh yang saya ketahui.
Menurut saya, ini hanya masalah kepentingan
dan kebutuhan. Pemerintah melakukan pelarangan terhadap penangkapan ikan
terubuk tersebut sebenarnya juga nantinya untuk masyarakat. Bagaimana mencegah
supaya ikan terubuk tidak menjadi legenda dan anak cucu tetap dapat merasakan
bagaimana enak dan mahalnya ikan tersebut. harapan tersebut kita akui sebagai output
jangka panjang. Namun, bagaimana untuk kondisi jangka pendek. Kondisinya sekarang
ini pemerintah juga harus mengetahui bahwa pada musim tersebutlah masyarakat
menyebutnya sebagai “musim emas”. Segala utang piutang diluar musim tersebut
dapat dilunasi. Memang, dahulu pernah ada kearifan lokal yang bernama “semah
terubuk” yang tujuannya sama dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah saat
ini. Bahkan, masyarakat sangat menghormati semah tersebut sehingga tidak
seorangpun yang berani menangkap terubuk pada waktu yang ditentukan.
Menurut hemat saya, sebenarnya baik itu
kearifan lokal maupun regulasi pemerintah adalah sama saja namun kondisinya
sangat jauh berbeda dengan saat ini. Dahulu mungkin ketika ada semah terubuk,
ada solusi yang diberikan kepada masyarakat agar masyarakat tetap dapat
bertahan dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun sekarang tidak ada sama sekali.
Seharusnya seiring pembuatan regulasi tersebut, pemerintah juga memikirkan dan
mencari solusi untuk masyarakat sehingga masyarakat tidak semakin menjerit. Bayangkan,
sepanjang musim ikan tersebut beruaya ke halaman mereka, satu haripun tidak
dibenarkan menangkap terubuk. Sepertinya, dalam penyusunan peraturan itu tidak
ada melibatkan masyarakat. Dengan kata lain hanya memutuskan sepihak. Seharusnya
pemerintah sebelum regulasi tersebut diterbitkan, dibuatlah seperti
pendampingan seperti pelatihan pengolahan ikan jenis lain dan segala macamnya
agar ada alternative lain bagi masyarakat.
Disisi lain, masyarakat juga seharusnya
mengerti mengapa pemerintah melakukan hal tersebut. saya tidak tahu apakah
sosialisasi tentang pentingnya larangan tersebut pernah ada dan sejauh mana.
“pak, bagaimana kalau dalam 8 hari tersebut diberikan toleransi sekitar 4 hari”
Tanya saya. “tidak bisa, karena musim itulah waktu emas kami, yang
sakit-sakitan pun bersemangat kelaut di waktu tersebut” jawab salah seorang
nelayan. maksud pertanyaan saya adalah mencoba mencari jalan tengahnya. Jika
musimnya tersebut 8 hari, buatlah agak 4 hari saja agar nelayan juga bisa
panen. Ini tidak. Seperti yang kita ketahui bahwa pemerintah telah melarang
penuh selama 8 hari tersebut untuk tidak menangkap terubuk, sedangkan diluar
itu tidak akan ada lagi terubuk yang tertangkap. Jadi maksud saya, mau tidak
mau apabila disepakati oleh nelayan seperti yang telah saya tanyakan tadi, maka
kepmen tersebut harus dirubah karena dipastikan akan terjadi konflik. Untuk
urusan perut, siapapun berani mati. Jadi dalam hal ini pemerintah dan
masyarakat harus duduk bersama dan saling mengerti agar regulasi yang
diberlakukan sesuai tujuannya. Tidak sia-sia.
Saya melihat bahwa regulasi yang telah dibuat
hanya sebagai symbol karena hanya pengawasan yang ada namun penindakan (sanksi)
yang dilakukan juga tidak ada. Masyarakat tetap juga tidak mengindahkan larangan
tersebut dan pemerintah juga tidak sanggup memberikan sanksi kepada masyarakat.
Artinya, regulasi tersebut hanya seperti baying-bayang yang menghantui. Namun
bagaimanapun, tanpa bisa kita pungkiri, sejak keluarnya kepmen tersebut memang
sedikit memberi pengaruh positif terhadap peningkatan populasi terubuk saat
ini. Ya begitulah Indonesia, selalu menargetkan hasil maksimal tetapi puas
dengan hasil minimal. Kesimpulan saya, semuanya harus “BERCARA”.